Senin, 19 April 2010

Masalah Dan Solusi Perkembangan Hindu di Tanah Jawa

Sirno Ilang Kertaning Bumi

Nusantara adalah kepulauan yang dibangun oleh peradaban yang luar biasa. Terbebasnya bangsa ini dari masa prasejarah tidak lepas dari peranan peradaban Hindu yang sudah sangat maju. Hindu adalah peradaban sekaligus agama yang tertua di dunia. Bangsa ini pernah berjaya ketika kerajaan Hindu menjadi pengerak kesatuan.
Majapahit tidak asing lagi di telinga masyarakat kita. Kerajaan ini berhasil menyatukan aspek kehidupan Nusantara dengan “Sumpah Palapa”. Abad ke 14 menjadi puncak kejayaannya dibawah Prabu Hayam Wuruk sebagai Raja dan Gajah Mada sebagai Mahapatihnya. Namun Sirno Ilang Kertaning Bumi juga menjadi candra sengkala bahwa kerajaan dan Agama Hindu runtuh. Bangunan fisik kerajaan hancur. Lontar keagamaan lenyap, dan bahkan pengakuan Hindu pun tidak ada lagi.
Sistem Majapahit waktu itu adalah centralistic yaitu memusatkan semua kegiatan perekonomian, politik dan agama di pusat kerajaan. Salah satu buktinya adalah Agama raja adalah agama penduduknya. Pengajaran agama hanya terjadi di pusat kerajaan dan untuk kepentingan kerajaan sedangkan masyarakat umum hanya mengikutinya.
Runtuhnya sebuah kerajaan besar bukannya sebuah perubahan yang tiba-tiba melainkan sebuah kejadian dari sekian banyak sebab. Majapahit runtuh karena sebab eksternal dan Internal. Sebab eksternal lebih disebabkan datangnya faham baru di sekitar pesisir utara Pulau Jawa, sebagai tanda adalah berdirinya kerajaan Islam pertama di Jawa yaitu Demak. Faham baru dibawa dengan konsep teologi yang tertata dengan baik dengan diajarkan kepada setiap penduduk yang cenderung jauh dari pusat Pemerintahan. Faktor internal adalah terjadinya perebutan kekuasaan antar pewaris tahta kerajaan sehingga kerajaan Majapahit menjadi terpecah. Perpaduan kedua sebab ini menimbulkan efek yang luar biasa sehingga mempercepat kehancuran sebuah dinasti dan peradaban kerajaan Hindu.
Sesudah kemerdekaan Indonesia ternyata peradaban Hindu masih tersisa di belahan bumi yang lain yaitu Pulau Dewata. Dari sinilah awal mulainya kembali Hindu mendapatkan pengakuan secara politik di Indonesia dengan berbagai upaya dan pendekatan. Masyarakat Jawa yang sadar dan eling, mulai menyadari dan kembali kepada agama leluhurnya. Eling marang budhi, ingat kepada agama yang menjalankan dan mengajarkan tentang kebenaran universal.

Orientasi Masyarakat Jawa Memeluk Agama Hindu
“Lima ratus tahun lagi aku kembali” itulah salah satu arti kutipan yang disampaikan Sabdopalon. Walaupun sudah lima ratus tahun lamanya kehilangan baju namun orang Jawa tidak kehilangan kejawaannya. Bangunan bisa hancur karena dimakan usia namun peradaban yang luhur tidak pernah ditinggalkan. Slametan, sesaji, penghormatan leluhur tidak pernah ditinggalkan.
Gejolak politik tahun 1965 membawa angin perubahan di masyarakat yang mulai mencari jati dirinya. Berbondong-bondong masyarakat menyatakan dirinya Hindu. Banyak yang menjadi alasan, diantaranya karena politik menuntut untuk beragama, ikut-ikutan dan karena sebagian menyadari bahwa spirit dan budaya yang ada adalah Hindu, sehingga sudah sepantasnya menyesuaikan antara jiwa dan raga. Karena spirit dan budaya bagaikan jiwa dan agama bagaikan bajunya. Kultur spirit dan budaya Jawa adalah Hindu dalam aspek jiwa.
Namun gelombang ini bukan tidak medapat tantangan. Secara organisasi Hindu tidaklah begitu kuat dan siap untuk membina umatnya sehingga terjadi pengeroposan dari dalam dan luar. Pembinan yang kurang mengakibatkan tidak adanya pertahanan sehingga mudah dipengaruhi dan dikonversi oleh yang lainya. Masalah ekonomi, sosial dan politik menjadi penyebabnya. Secara ekonomi masyarakat Hindu yang berada di level menengah kebawah mudah di iming-imingi kesejahteraan. Secara sosial dan politik Hindu termarginalkan karena sumberdaya pendidikan yang kurang.

Generasi Muda Hindu
Bangsa ini terjajah selama 350 tahun sehingga mental dari generasinya juga mental terjajah. Generasi muda kita cenderung melihat keluar, sehingga konversi sangat mudah masuk dalam lingkungan kita, baik konversi dari dalam maupun dari luar. Konversi agama dari dalam bisa kita lihat bagaimana faham dari India sebagai negara sekuler sangat mudah masuk di lingkungan kita tanpa disaring lebih dahulu. Di India banyak berkembang asram-asram yang memiliki tradisi ritual dan interprestasi yang berbeda terhadap budaya Wedik. Anggapan masyarakat Hindu Indonesia selalu menerima yang datangnya dari luar dipandang lebih baik dan bagus dari yang dimilikinya. Padahal kita belumlah menggali apa yang sudah disaring oleh Maharsi kita di Jawa. Lihatlah Bhuana Kosa, Jnana Sidhanta, Wrespati Tattwa, disana terdapat konsep tentang ketuhanan yang luar biasa disebut dengan Brahman Rahayam.
Tantangan terbesar berikutnya adalah konversi dari luar. Agama Hindu dinyatakan sebagai agama bumi, agama yang bukan wahyu dan sebagainya. Tuduhan semacam ini sering menjadikan masyarakat kita minder. Itulah sudut pandang dari mereka. Hindu memandang bahwa kebenaran itu adalah universal. Setiap zaman Hindu meramalkan turunnya penuntun agama. Agama Hindu diturunkan pada saat zamanTreta Yuga yang masih suci dan murni, sedangkan agama-agama yang diturunkan pada zaman Kali Yuga adalah kebenaran yang sudah tercemar oleh kepentingan-kepentingan.
Ngakoni gak nglakoni, mengakui tapi tidak menjalankan. Identitas agama hanya menjadi identitas semata bukan merupakan jalan hidup. Agama seharusnya dijadikan jalan hidup untuk mendapatkan moksartam jagadhita ya ca iti dharma.
Dalam kitab Sarascamuscaya sloka 4 dikatakan bahwa menjadi manusia adalah hal yang sangat utama.
Iyam hi yonihprathama,
yam prapya jagattpate
atmanam cakyate tratum,
karmabhih cubhalaksanaih

Apan Iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sankeng sangsara, makasadhanang subhakarma, hinganin kottamaning dadi wwang ika.

Artinya :
Menjelma menjadi manusia itu sungguh-sungguh utama; sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya sendiri dari keadaan sengsara (lahir dan mati berulang-ulang) dengan jalan berbuat baik; demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia.

Bukan hanya mengakui tapi menjalankan swadharma sesuai aturan dharma itulah yang semestinya kita bisa lakukan demi memajukan agama Hindu kedepan. Sehingga kita ngakoni lan nglakoni.

Solusi Misi Masa Depan Generasi Hindu
Generasi muda adalah tunas bagi komunitasnya, sehingga harus memiliki misi di masa depan. Generasi muda saat ini adalah generasi yang tumbuh di atas tanah yang subur, dimana mereka dilahirkan sudah menjadi Hindu.
Hindu mengajarkan kita untuk selalu berpikir kreatif untuk mendapatkan pengetahuan kebenaran dengan jalan Pratyaksa (pengamatan sistematis), Anumana (kesimpulan), Upamana (perbandingan) dan Sabda (testimony weda). Untuk itu dunia pendidikan sangatlah penting untuk mengatasi kemerosotan kualitas dan kuantitas. Kesadaran bahwa pendidikan itu adalah penting harus mendapatkan apresiasi dari masyarakat Hindu. Dengan semakin meningkatnya kualitas pendidikan bagi generasi muda maka semakin kuatlah pondasi keagamaan yang dibangun.
Bukti di atas menyatakan bahwa agama Hindu mengedepankan intelektual dalam mendekatkan diri kepada Tuhan. Hindu kedepan akan menjadi agama bagi orang-orang intelektual. Karena orang yang hidup dalam kebodohan (Awidya) berarti dia berada dalam kesengsaraan. Dengan mendapatkan penerangan ilmu pengetahuan berarti mendapatkan jalan menuju kebebasan abadi.
Seperti halnya yang ditawarkan dalam Waisesika ada empat etika dalam menjalankan hidup ini untuk mendapatkan kelepasa yaitu Tatwa Jnana, Srawana, Manana dan Meditasi.
Tattwa Jnana, merupakan pemahaman yang benar terhadap ilmu pengetahuan dunia: Pemahaman tentang Atman, Badan, Indriya dan Pikiran. Srawana, membaca dan mendengarkan ajaran dari kitab suci. Manana, melaksanakan apa yang dibaca dan didengar dari kitab suci melalui Tri Kaya Parisuda. Meditasi, melakukan pemusatan pikiran, merealisasikan sang diri untuk melepaskan ikatan keduniawian.
Hindu mengajarkan kepada umat manusia untuk mendapatkan pengetahuan sebagai pencerahan jiwa dari belenggu awidya. Hal tersebut akan berbanding terbalik dengan doktrin ajaran lain yang menyatakan “manusia turun ke dunia karena berdosa memakan buah dari pohon pengetahuan”.

Susilo Edi Purwanto, S.Ag, M.Si
Penulis : Dosen STAHN GDE PUDJA, Mataram

Yadnya Kasadha Etnis Tengger

Kota Probolinggo, Jawa Timur. Disanalah terletak gunung yang sarat pesona mistis, Gunung Bromo. Hamparan laut pasir yang membentang luas di kaki gunung berapi ini tengah ramai, bukan hanya karena kehadiran para wisatawan. Tapi juga karena akan ada sebuah ritual besar umat Hindu Tengger.
Mereka akan mengadakan Yadnya Kasadha, wujud syukur atas karunia Sang Hyang Widhi Wasa. Sebuah hari raya kurban yang turun temurun dilakukan umat Hindu Tengger di Gunung Bromo. Bagi mereka, Gunung Bromo merupakan hila-hila atau tanah suci. Tempat bersemayamnya Sang Hyang Brahma. Tempat untuk memohon berkah. Dalam kesadha kali ini juga akan ada pengukuhan bagi dukun adat Tengger yang baru.
Halaman pendopo agung yang ada di Desa Ngadisari, menjadi pusat acara hiburan tradisional menjelang kesadha. Seperti tari-tarian khas Tengger dan pagelaran reog Singoboyo dan Singamadha yang merupakan turunan dari Reog Ponorogo. Datangnya yadnya kesadha sudah disambut jauh-jauh hari oleh umat Hindu Tengger yang berjumlah sekitar 130-an ribu jiwa. Seminggu sebelum upacara kesadha berlangsung, aktivitas keseharian seperti bertani sayur-mayur, dihentikan. Termasuk aktivitas perkantoran dan sekolah. Semuanya tertuju menyambut hari besar yang selalu dilaksanakan setiap akhir tahun ini.
Pura Luhur Poten Bromo yang dibangun di kaki Gunung Bromo, merupakan pusat sembahyang umat Hindu Tengger. Jadi tak heran, semua umatnya berduyun-duyun datang ke tempat ini, untuk menghaturkan rasa syukur atas karunia dan rejeki yang telah mereka terima. Bahkan, para pedagang ikut meramaikan. Puluhan kios berderet di dekat Pura Luhur Poten Bromo, menyajikan berbagai dagangan. Konon keberadaan para pedagang tersebut menjadi semacam pertanda bagi masyarakat Tengger, apakah hidup mereka selanjutnya akan membaik atau tidak. Jika barang dagangan tidak habis dan pedagang mendapat untung, diyakini ke depan masyarakat Tengger akan makmur. Namun jika barang dagangan habis, itu pertanda musim paceklik akan tiba.
Upacara yadnya kesadha diawali dengan mengambil air suci yang ada di lereng Gunung Widodaren. Jaraknya sekitar 6 kilometer dari Pura Luhur Poten Bromo. Pengambilan air suci ini wajib dilakukan umat Hindu sebelum melaksanakan yadnya kesadha. Umat Hindu Tengger menyebutnya dengan istilah medak tirta (baca: tirte) atau pengambilan air suci. Selain mengambil air suci, mereka juga melakukan pujaan atau berdoa di goa widodaren, dipimpin dukun adat dari desa masing-masing. Pembakaran kemenyan dan sesembahan bunga tiga warna atau kembang telon, dilakukan sebagai permohonan ijin kepada Sang Hyang Widi, untuk melaksanakan upacara kesadha. Setelah berdoa, para dukun adat yang berada di Goa Widodaren, melayani umatnya yang ingin melakukan nazar atau meminta sesuatu.
Sambil menunggu giliran bernazar, beberapa warga menampung tetesan air dekat gua. Air yang akan disucikan oleh sang dukun. Kehadiran dukun dalam masyarakat Tengger, bukan sebagai sosok paranormal sebagaimana yang dikenal umumnya. Para dukun ini adalah semacam dukun adat, yang menjadi perantara doa-doa umat Tengger. Bila ritual di Goa Widodaren ini usai, umat Hindu Tengger yang datang dari berbagai desa ini membawa air suci ke Pura Luhur Poten Bromo, untuk membersihkan pura. Ini biasa terjadi 5 hari sebelum tanggal 14 bulan kesadha, atau bulan kedua belas Tahun Saka. Sedangkan pada saat bersamaan, banyak umat Hindu Tengger yang langsung melakukan ritual kurban ke kawah Gunung Bromo. Berbagai hasil bumi mereka bawa ke bibir Gunung Bromo melalui 250 anak tangga. Semuanya itu akan dipersembahkan ke kawah Gunung Bromo, sebagai tanda syukur atas karunia yang selama ini diberikan Sang Hyang Widi Wasa. Bukan hanya makanan hasil pertanian dan ternak yang mereka bawa. Uang pun menjadi persembahan.
Ada pemandangan unik saat ritual persembahan ini berlangsung. Puluhan merit atau orang yang mengambil makanan sisa yang dipercaya telah dimakan roh halus, menanti dengan setia di lereng kawah Gunung Bromo. Mereka ini adalah penghuni lereng Gunung Bromo. Seringkali bahkan sesajian yang dibawa, tidak sempat dilempar ke kawah. Tapi langsung diambil sang merit. Para peziarah pun seperti tak hirau dengan keberadaan para merit. Bagi mereka, yang penting niat untuk melakukan ritual kurban, sebagai ucapan terima kasih pada Sang Hyang Widi Wasa, telah terlaksana.
Tepat tengah malam, saat bulan purnama kedua belas, arak-arakan ongkek-ongkek atau hasil bumi umat Hindu Tengger, ditandu para dukun dan pembantunya, menuju Cemoro Lawang yang menjadi pintu masuk utama menuju Pura Luhur Poten Bromo, tempat ibadah umat Hindu Tengger. Udara dingin menusuk tulang saat itu, seperti tidak dirasakan umat Hindu Tengger. Semua tak mau ketinggalan merayakan saat bersyukur ini. Di pintu gerbang Cemoro Lawang, arak-arakan berhenti, meminta ijin masuk ke Pura Luhur Poten Bromo. Upacara ini harus dilakukan sebelum memasuki pura.
Pada malam menjelang yadnya kesadha, ada sebuah ritual yang cukup penting bagi warga Tengger. Yakni pengukuhan Dukun Tengger yang baru. Acara ini biasa disebut dengan Mulunen. Mulunen dilakukan bila dukun sebelumnya meninggal atau sudah tidak bisa menjalankan tugasnya sebagai dukun. Kali ini, ada 6 calon dukun yang akan diuji. Empat orang berasal dari Pasuruan, dan 2 orang dari Lumajang. Pengujian di Pura Luhur Poten Bromo ini merupakan tahap paling berat bagi peserta. Dilakukan tepat jam 2 dini hari, saat kabut tebal menutupi pura. Pengujian dilakukan satu persatu, dipandu koordinator dukun Tengger. Sang calon dukun harus membacakan dua bab mantra kesadha tanpa putus, di hadapan para dukun senior dan umat Hindu yang sedang mengikuti acara kesadha. Bukan ujian yang mudah, karena mantra yang harus diucap bisa 1 jam panjangnya. Bahasanya pun bahasa Jawa kuno. Dukun Tengger dan mantera memang tidak bisa dipisahkan. Para dukun Tengger selalu dimintai mantera oleh warga Tengger yang punya sebuah keinginan.
Bagi orang Tengger, dukun adat adalah pemimpin spiritual mereka. Ia menjadi penglantar atau perantara doa-doa warga kepada Sang pencipta. Dan hanya dukun adatlah yang punya kemampuan spiritual memanterakan bahan sesajian, untuk dipersembahkan pada roh leluhur. Sehingga, kehadiran sang dukun adat, mutlak adanya.

Wiwit Amalia Mujiastuti
umat Hindu Tengger, Jawa Timur

Gunung Merapi; Ketika Mbah Buyut Nyambut Gae

Di kalangan para pendaki gunung, nama gunung Merapi dikenal selain sebagai wilayah untuk menguji kekuatan fisik juga menakar tingkat kadar kualitas spiritualitas. Maka, selain dilarang sombong para pendaki dituntut kebersihan jiwa raga. Kalau tidak, maka...?

Gunung Merapi merupakan gunung berapi yang paling aktif di pulau Jawa. Lokasinya berada di perbatasan antara propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Di lereng sebelah selatan berbatasan langsung dengan Kabupaten Sleman. Di lerang itulah tepatnya di dusun Kinah Rejo letak rumah Mbah Marijan sang juru kunci Merapi yang lebih dikenal dengan roso-roso.
Namun, perjalanan saya kali ini bukanlah ke lereng tempat Mbah Marijan tinggal. Justru tujuannya adalah lereng sebelah timur Gunung Merapi tepatnya di dusun Rogo Belah, Desa Suroteleng, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Tidak hanya di sebelah Selatan saja terdapat juru kunci, tapi di lereng Timur pun terdapat sang juru kunci. Dialah Slamet Citro yang lebih akrab dipanggil Mbah Slamet. Beliaulah yang mengajukan permohonan atau ‘proposal’ kehadapan sang penunggu Gunung Merapi, Mbah Buyut.

Perjalanan dimulai saat hari telah menjemput malam. Matahari mulai bersembunyi di ufuk Barat seraya melambaikan tangan dan menyilahkan rembulan menghuni bumi pertiwi. Pedesaan hingga hutan rimba menghiasi kisah perjalanan menuju lereng Gunung Merapi. Semakin meninggi, jalan semakin kecil bahkan aspal sudah mulai memuntahkan kerikilnya. Liku-likunya menakjubkan, tambah seram lantara di kanan kiri jalan adalah jurang. Nampak begitu jelas, lereng-lereng gunung yang diterasering rapi. Tanamannya pun beragam, mulai dari sayuran, palawija sampai tembakau. Tanahnya begitu gembur sehingga semua tanaman hijau dan subur. Semakin ke atas, terlihat rumah-rumah penduduk Merapi yang sangat sederhana.
Perjalanan terus berlanjut. Gelap pun mulai menggelanyut. Tepat pukul tujuh malam, pada akhir Juni 2009 lalu, saya bermalam di kediaman Mbah Slamet. Sambutan hangat kakek empat putra ini seolah menghilangkan rasa dingin yang sedari tadi menusuk sampai ke tulang-tulang. Bagaimana tidak, teh panas yang dituangkan dari termos pun tak terasa hangat saking dinginnya malam di lereng Merapi.
Bibir terasa kelu, kaki, tangan bahkan seluruh tubuh menjadi beku. Namun, semua itu berlalu ketika obrolan dimulai. Perbincangan seru dengan sang juru kunci pun menghiasi rumah yang sering dipergunakan untuk ritual Mbah Buyut. Perbincangan dimulai dengan tema sering mbledos (meletus) Gunung Merapi.
“Ojo ngomong nek mbledos, ora etuk, neng Mbah Buyut nyambut gae (Jangan bilang kalau meletus, tidak boleh, tapi Mbah Buyut sedang bekerja),” kata Mbah Slamet tegas. Mimik serius Mbah Slamet sungguh menyentak sehingga percakapan menjadi tegang.
Kisah meletusnya Gunung Merapi tak hanya cukup dikategorikan atau dibaca sebagai peristiwa alam biasa oleh kebanyakan orang. Peristiwa-peristiwa alamiah bagi kalangan rasional diterima sebagai hal wajar dan biasa, namun bagi masyarakat agraris kental, seperti di lereng Gunung Merapi justru acap kali dibaca sebagai isyarat lain. Ada pertimbangan-pertimbangan mistis, gaib di balik peristiwa alam itu. Ia membawa pertanda, entah baik atau buruk.
Bahkan seperti penuturan Mbah Slamet, ketika Gunung Merapi itu mengeluarkan panas dan semburan lahar, jangan sekali-kali berucap “Gunung Merapi meletus”. Karena, Mbah Buyut lebih menyukai sebutan nyambut gae. Norma-norma semacam ini perlu diperhatikan, dengan harapan tidak akan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan – kwalat. Jangankan warga setempat yang telah mempercayai kegaiban Gunung Merapi, siapapun yang datang ke lereng gunung Merapi mesti berhati-hati dengan tutur kata dan tingkah laku. Para pendaki gunung, misalnya, paham tentang larangan untuk tidak menjadi sombong dengan mengatakan akan mencapai puncak pada hari ini dan jam sekian. Bisa jadi kesombongan macam itu justru akan membuat para pendaki tersesat.
Di lereng yang begitu terjal dan sulit dibayangkan keamanannya itu ternyata terdapat sekelompok masyarakat yang masih begitu kuat dengan keyakinannya bahwa Gunung Merapi membawa berkah. Makanya, lebih dari 200 penduduk sekitar yang tinggal di satu dusun itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Mbah Buyut dengan menghaturkan sesaji setiap hari-hari tertentu.

Mereka percaya, segala ketentraman dan kemakmuran di dusun itu tak lepas dari anugrah yang diberikan oleh Mbah Buyut. Masyarakat di dusun Rogo Belah masih kental dengan adat budaya dan ritual yang turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan, saat Mbah Buyut nyambut gae, masyarakat yang tepat di lereng gunung dekat hutan larangan itu tak cepat-cepat pergi dan mengungsi. Dengan pikiran positif dan kepasrahan mereka tenang-tenang saja dan tetap melakukan aktifitas sehari-hari meski gunung terus memuntahkan lahar yang sangat panas.
“Neng kene ora pernah keno nek Mbah Buyut lagi nyambut gae, malah lewat thok (Di sini tidak pernah terkena lahar saat Mbah Buyut sedang bekerja, malahan cuma lewat saja),” ujar Mbah Slamet dengan santai.
Mbah Slamet yang telah menjadi sesepuh atau juru kunci Gunung Merapi lereng Timur atau di pinggir hutan larangan atau Gunung Bibi sejak perjaka itu melanjutkan cerita tentang kisah-kisah jaman dahulu yang berkaitan dengan Mbah Buyut. Konon hutan larangan atau Gunung Bibi merupakan ibu dari Gunung Merapi yang dinyatakan sebagai hutan larangan. Mbah Slamet juga tidak tahu persis mengapa dijadikan hutan larangan, mungkin karena terlalu banyak hewan buas dan menurut cerita yang beredar, hutan itu dipercaya masih menyimpan misteri yang amat gaib. Berita angin dari para pendaki menyebutkan bahwa daerah itu merupakan pedesaan wong samar. Artinya, jika melewati wilayah itu harus sikap rendah hati dan bilang permisi. Bahkan, tidak sedikit pendaki Gunung Merapi yang melintas di hutan tersebut hilang dan tidak dapat ditemukan. Apalagi jika tidak menggelar ritual sebelumnya.
Saking mistik dan gaib hutan larangan itu, maka masyarakat di dusun tersebut hingga kini tetap menggelar ritual rutin setiap hari pasaran Legi malam Pahing. Ritual dengan berbagai bentuk sesaji tersebut di gelar sebagai doa bersama untuk keselamatan masyarakat setempat dan sebagai doa warga masyarakat di seluruh Nusantara. Mereka tetap menyajikan berbagai macam sesaji, baik saat diupacarakan bersama di hutan larangan, di rumah Mbah Slamet atau di rumah masing-masing. Mereka hanya berpegang bahwa itu adalah adat dan budaya yang mesti dilestarikan, meskipun agama yang mereka anut tak mengajarkan demikian.

Tak berbeda dengan Mbah Slamet, malahan beliau mengaku tak beragama meski di KTPnya tertera Islam. Padahal japa mantra yang digunakan saat upacara adalah Gayatri Mantra yang menjadi inti japa umat Hindu. “Sing penting terus ngabekti marang Gustyalah (Yang penting terus berbakti kepada Tuhan),” tuturnya sambil tersenyum.
Lelaki yang jarang menikmati tidur malam ini melanjutkan cerita-ceritanya. Dahulu Eyang dari Mbah Slamet adalah orang ternama di desanya. Eyang memiliki kekuatan untuk berkomunikasi dengan Mbah Buyut. Ketika Eyang meninggal, Mbah Slametlah yang mewarisi keahlian tersebut. Ketika itu umurnya baru menginjak 18 tahun dan ia pun tak merasakan perubahan apapun dalam tubuhnya. Hanya saja, saat ada upacara ritual untuk Mbah Buyut, Mbah Slamet tak sadarkan diri dan mulai berbicara perihal kejadian yang akan datang di Negara Indonesia atau di desa tesebut. Ketika sadar, ia tak ingat sedikitpun apa yang telah ia katakana, karena Mbah Slamet hanyalah sebagai perantara Mbah Buyut yang sedang ngendiko.
Lambat laun, Mbah Slamet mulai dikelilingi oleh Pandawa yakni lima warga setempat yang akan menerjemahkan pangandikan Mbah Buyut atas perantara tubuh Mbah Slamet. Pasalnya, kata-kata yang diucapkan Mbah Buyut penuh ’filsafat’, sehingga Pandawa inilah yang bertugas untuk mengartikan setiap kata yang telah terucap dari bibir Mbah Slamet dan merundingkannya hingga akhirnya mampu dijadikan pedoman bagi masyarakat – falsafah dan isyarat. Pandawa ini sudah ada sejak Eyang Mbah Slamet menjadi juru kunci Merapi. Apakah Pandawa orang terpilih? Tentu saja iya, namun bagaiman kriteriaanya, Mbah Slamet pun tak mengetahui dengan pasti. Hanya saja, Pandawa tak mampu berkomunikasi dengan Mbah Buyut, dan hanya Mbah Slametlah satu-satunya warga di lereng gunung merapi sebelah Timur itu yang mendapatkan kepercayaan.

“Mbah Buyut kapan rawuhe aku yo ora ngerti (Mbah Buyut kapan datangnya, aku juga tidak tahu),” seru Mbah Slamet. Biasanya, beberapa jam sebelum kedatangan Mbah Buyut, ia merasakan badannya panas dan sedikit kejang-kejang. Saat itulah, Pandawa mesti paham dan malam harinya harus diadakan sebuah ritual baik di rumah Mbah Slamet atau di hutan larangan tempat yang disucikan oleh penduduk setempat.
Tidak hanya orang sakit yang memohon kesembuhan, para caleg, sampai pejabat pun terus berdatangan ke tempat Mbah Slamet untuk mengajukan ‘proposal’ kepada Mbah Buyut. Suatu ketika, ritual tengah malam sedang berlangsung. Rumah Mbah Slamet sudah dipenuhi oleh bahan-bahan persembahan dan dikerumuni pengunjung dengan niatnya masing-masing. Ada pejabat tinggi sampai tingkat rendah, orang sakit, tua renta, orang ingin memiliki kekayaan dan masih banyak lagi.
Mbah Slamet mulai duduk, tubuhnya seketika tak sadar. Dan ia menggumamkan salah satu nama dari pengunjung tersebut. Anehnya, yang ditunjuk bukanlah orang yang berkeinginan lebih seperti mohon kesembuhan atau kekayaan, namun sebaliknya ia hanyalah seorang laki-laki yang sedang duduk santai di pojok belakang sambil mengamati banyaknya orang yang datang ke tempat itu. Mbah Slamet yakin, orang yang berhati bersihlah yang disapa oleh Mbah Buyut, bukan orang-orang yang berambisi dengan keindahan dan gemerlapnya duniawi.

Alhasil, sebenarnya tidak ada yang yang perlu ditakuti dari Gunung Merapi. Justru sebaliknya, gunung Merapi bisa dijadikan tempat belajar yang efektif. Belajar bersikap menghormati alam, meningkatkan kualitas spiritual. Semacam tempat mengukur diri bagi manusia seberapa ’bersih’ ia dan ini sangat berguna dalam kehidupan sosial. Kuncinya mungkin sikap andap asor, rendah hati, terbuka, mau menerima kekurangan dengan lapang dada.
Perbincangan hingga larut malam, bahkan hampir pagi. saya bahkan sempat mengikuti ritual tengah malam bersama Mbah Slamet di kediamannya. Angin begitu kencang, menambah khusuk suasana malam penuh keheningan. Saat pagi tiba, matahari tersenyum manis termaram keemasan di balik Gunung Lawu.

Tri Wahyu Utami

Minggu, 18 April 2010

Hindu Gunung Kidul Rindu Perhatian

Gencarnya konversi agama membuat Peradah Kabupaten Gunung Kidul ketakutan. Lama tidak muncul, mereka mencoba menunjukkan diri bahwa mereka masih ada. Meskipun berbekal ‘sayap kecil'. Apa Kabar PHDI GK ?

Lebih dari 4000 umat Hindu masih bertahan di Kabupaten Gunung Kidul (GK), Provinsi Daerah Istimewa Yogjakarta (DIY). Ketua Peradah Indonesia Kabupaten GK, Chandra Saputra mengakui dari jumlah itu, 80 persen di antaranya belum memahami ajaran-ajaran Hindu. Keluhan umat saat didatangi Peradah GK hampir sama. “Enten mriki niki awis-awis sanget piantun ingkang menehi pangertosan babakan agami hindu, Mas (di sini ini jarang sekali ada orang yang memberikan pengertian tentang agama hindu, Mas),” papar Candra seraya menirukan kalimat salah satu umat Hindu yang didatanginya.
Kehadiran Pembimas dan PHDI, masih kata Chandra, belum cukup memberikan banyak pengetahuan dan pendalaman materi Hindu yang dibutuhkan umat. Selain kawasannya sulit dijangkau, sumber daya manusia GK juga sangat rendah. Mungkin itulah yang membuat malas Pembimas memasuki kawasan terpencil itu. “Lulusan SMP saja sudah berterima kasih,” ujar pria kelahiran Ngawen, GK ini sambil mengerutkan kedua alisnya. Padahal keinginan umat sepele, hanya ingin berperan dan merasa memiliki Hindu di daerah terpencil itu.

Suatu ketika, ide untuk membuat sebuah acara pun muncul saat kelompok ini mendatangi seminar bertajuk ‘Konversi Agama’ di Kemuning, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, akhir tahun 2008. Sejak itu, ketakutan mulai menggerogoti pemuda Hindu di GK. Sang penggagas dan otak kegiatan, Purwanto yang juga menjabat sebagai sekretaris panitia terinspirasi untuk membuat kegiatan bertema penyatuan umat dengan Dharmasanti. Tidak hanya itu, acara pun ditambah dengan upacara Melasti, Galungan, Nyepi, dan Kuningan. Tujuannya, mereka tidak hanya ingin perayaan itu berjalan formal, tapi lebih pada manfaatnya.

Selama 2 tahun terakhir ini, Melasti diselenggarakan oleh PHDI Kabupaten GK yang sebelumnya digelar oleh PHDI Provinsi DIY. Kegiatan itu hanya berkutat pada persembahyangan bersama tanpa mengajak umat merasa memiliki acara tersebut. Celakanya, umat asyik berwisata sambil mengikuti Melasti di Pantai Ngobaran. Pada kesempatan inilah, para muda-mudi GK ingin adanya perubahan.
Sebelum acara Melasti, ada saja rintangan yang dihadapi panitia. Mulai dari kekurangan dana, para anggota panitia yang mengalami kecelakaan lalu lintas, sampai cuaca yang tidak bertoleransi seperti hujan lebat. Namun, hal tersebut tak menyurutkan perjuangan mereka untuk mewujudkan kebersamaan umat yang telah diimpikan sejak tahun 90-an itu. “Tidak tahu persis kesalahan apa yang kami perbuat hingga ada saja halangannya,” imbuh Chandra.

Syukurlah, acara demi acara digelar dengan lancar. Termasuk Melasti yang diramaikan dengan arak-arakan pratima, gunungan hasil pertanian, kesenian reog, dan persembahan sesaji-sesaji lainnya. Umat Hindu serentak berbusana adat jawa datang berjubel. Sampai-sampai beberapa anggota Panitia meneteskan air mata melihat kedatangan 1.000 umat penuh dengan jiwa kebersamaan. Mereka bersembahyang dengan rapi dan khusuk. Suasana menjadi hening dan nikmat.

Selain upacara Melasti, panitia juga menggelar bhakti sosial. Sempat, kegiatan yang satu ini nyaris ditangguhkan. Mengingat dana yang terkumpul sangat minim. Namun, dengan usaha keras akhirnya bhakti sosial nyata dilakukan panitia di dua lokasi, Pura Mahameru dan Pura Bhakti Agung, GK. Semua umat Hindu yang ada di kedua Pura itu sudah manula, keadaan mereka sangat memprihatinkan.

Tri Wahyu Utami

Gigih Berjuang Membangun Pura

Para pemuda di Dusun Gentan, Gombyongan, Jogonalan, Klaten, Jawa Tengah pantang menyerah untuk mewujudkan impian membangun Pura di Dusunnya. Tentu saja perlu perjuangan keras. Bagaimana awal kisahnya?

Pura Genta Bhuana Sakti yang terletak di Gentan, Gombyongan, Jogonalan, Klaten, Jawa Tengah ini dikenal dengan sebutan Pura Milenium. Pasalnya, pembangunan Pura dilakukan bertepatan dengan tahun 2000, yakni tahun Millenium.
Sesungguhnya, umat Hindu Gentan sudah sangat menginginkan Pura sejak tahun 1980an. Mereka beberapa kali mengajukan sebidang tanah kepada pemerintah untuk pembuatan Pura, tapi selalu menjumpai kegagalan.
Saking besarnya keinginan warga untuk membuat tempat ibadah, lima orang pemuda Hindu di Gentan sengaja melakukan ritual nayuh wahyu (bertapa dengan tenaga dalam) pukul 01.00 dini hari di selatan desanya.
Sunaryono, salah satu anggota kelompok pemuda itu menuturkan, saat mereka melakukan meditasi tiba-tiba ada sebuah kilau sinar biru bercahaya mirip bola api kebiru-biruan menyala di ujung timur desanya. Ia dan keempat rekannya, Agus Setiawan, Jumadi, Suyadi dan Eko Wahyudi terheran-heran. Mereka meyakini, di sanalah tempat yang tepat dibangun sebuah Pura. Sebidang tanah milik salah satu tokoh di desa tersebut.

Setelah melalui berbagai proses suka dan duka, akhirnya tanah tersebut terealisasi. Umat Hindu Gentan pun bisa bernafas lega. Mereka segera menyiapkan material pembuatan Pura.
Aneh, pembangunan Pura di areal seluas 300 meter² hanya memakan waktu sebulan. “Pembuatan Pura itu tidak mengenal lelah. Para warga Hindu maupun non Hindu bekerjasama membuat Pura siang malam tanpa henti,” ujar Suparyono.
Pria yang menjabat sebagai Ketua Muda-mudi Hindu tingkat RW ini juga menceritakan, sebelum ada Pura, masyarakat bersembahyang di rumah warga yang memiliki rumah agak luas. Itupun dilakukan seminggu sekali. “Waktu itu kami sembahyang bergiliran dari rumah ke rumah,” kenang lelaki kelahiran 13 April 1981 itu. Namun, sesudah Pura dibangun umat sangat berbahagia hingga setiap hari Pura ramai dipadati umat untuk bersembahyang.

Nama Pura Genta Bhuana Sakti, diambil dari nama dukun warga setempat yakni Gentan. Tentunya, umat Hindu menginginkan agar Pura tersebut banyak yang nguri-uri (memelihara untuk berbakti) akan kesaktian Idha Sang Hyang Widhi Wasa, maka disebut Sakti. Sedangkan kata Bhuana berarti alam semesta. Jadi, Pura Genta Bhuana Sakti adalah kekuatan alam dari kesaktian Tuhan yang terbukti dari jatuhnya cahaya biru saat para pemuda melakukan nayuh wahyu.

Padmasana masih 'Kesepian'
Jika di Pura-pura lain terdapat tiga Padmasana, lain halnya dengan Pura Genta Bhuana Sakti. Padmasana di Pura tersebut masih sendirian lantaran belum ada dana untuk pembangunan lagi. Jangankan memikirkan penambahan Padmasana, balai di Pura yang memiliki dua mandala itu sangat rentah ambruk. Atapnya terbuat dari daun tebu yang dikeringkan. “Saat musim penghujan, atap di balai Pura pasti bocor,” tandas Yono. Meski dengan keadaan seadanya, warga Hindu di Gentan ini terus mebakti kehadapan Idha Sang Hyang Widhi.
"Untunglah, sekarang balai itu sudah diperbaiki," ujarnya lelaki yang menjadi guru agama Hindu di SMP N 3 Jatianom, Klaten ini sambil tersenyum.
Meski ‘kesepian’, Padmasana di Pura Milenium tetap unik dengan hiasan cat berwarna-warni. Sejak tahun pembuatan, cat tetap melekat dan mengkilat serta tidak pudar sedikitpun.


Tri Wahyu Utami

Kok Hindu Terus Ketinggalan 'Kereta' ya ??

Terkisah seorang perempuan lugu nan pemalu. dialah Lestari, murid kelas 3 SMP N III Ngargoyoso, Karanganyar, Jawa Tengah. saya mengenalinya pertama kali saat kami belajar bersama di Pasraman. di Pura Luda Bhuana yang jauh dari jangkauan komunitas umat lain. berlokasi di bukit Ngargoyoso, jalannya pun sungguh luar biasa berliku dan terjal bebatuan. butuh waktu satu jam mendaki tempat belajar kami dari jalan raya.

ya, ya...dialah Lestari, gadis berambut panjang dan anggun. ia pakar pelajaran fisika, matematika dan pelajaran yang lain, bahkan pelajaran agama Hindu ia hafalkan di luar kepala.
menghadapi ujian nasional, Lestari pun gencar membaca buku pelajaran dan ngebut latihan soal-soal. tak hayal jika teman-temannya sering datang ke rumahnya yang sangat sederhana.

betul, ia sangat lugu. ia hanya senyum-senyum ketika kami mengobrol ngalor ngidul. namun ia tegas saat menerangkan pelajaran fisika pada rekan-rekannya. ia sabar menjelaskan satu per satu soal-soal yang cukup rumit. saya dibuatnya melongo begitu juga mbak dwi yang saat itu berboncengan dengan saya menuju tempat belajar mereka. tentu saja lantaran kecerdikannya dalam membahas soal-soal.

Lestari sangat manis, apalagi saat ia tersenyum. dari raut muka serta tutur bahasanya yang sopan, ia tipikal perempuan yang pantang menyerah dan pekerja keras dalam keluarga. namun sayang, ia pasrah dengan satu hal, yakni masa depannya.

betapa tidak, keluarga gadis berpenampilan sederhana ini jauh dari kecukupan secara material, sehingga Lestari pun enggan meminta orang tuanya mengirim ke SMA. ia 'takut' menjadi beban orang tuanya.
"tapi ada niat sekolah ’kan dik?" tanya saya pelan.
"tentu saja mbak, kalau ada yang membiayai, saya akan melanjutkan sekolah dan meraih cita-cita saya," ujarnya.

saya tidak berani menanyakan cita-cita apa yang ia angankan. apakah dokter, politikus, agamawan ??
saya enggan dan pasti menyinggung perasaannya.

andaikan saya memiliki harta melimpah,
sawah yang lapang,
ternak berjuta,
rumah megah dan mewah,
tentu saya membantunya untuk mewujudkan, entah apa yang menjadi cita-citanya.

Lestari menjadi bayangan dalam langkah saya.
Adakah yang sudi menolongnya?
ini bukan 'mengemis'.....
sekali lagi ini bukan mengemis sesuap nasi, atau ilmu pengetahuan. bukankah kita punya dari orang-orang punya? bukankah kita ada karena yang lain ada?
ini bukan soal "sekolah membelenggu, atau semua ditentukan pemerintah -- wajib belajar 12 tahun"
saya tegaskan, ini bukan mengemis.
tapi, Lestari, menurut saya, adalah generasi Hindu, sekaligus warga Indonesia yang patut mendapatkan bantuan berupa apapun itu. terutama pendidikan sekolah formal.

***
Ujian nasional tinggal beberapa hari lagi, dan saya yakin dia akan menjadi juara parallel di sekolahnya, seperti 3 tahun terakhir ini. Juara yang ia raih saban akhir semester.

Semoga ada banyak orang yang terketuk pintu hatinya dan mengajak lestari menapaki rumput-rumput hijau impiannya.

***
satu bulan telah berlalu, saya berjumpa dengan salah satu Pemangku dari Bali. Beliau menawarkan dengan iklas bersedia menjadi orang tua asuh Lestari, betapa gembiranya saya. Girang tak terperikan.
namun, Lestari telah mendapat tumpuan hidup. orang Semarang telah membiayainya sekolah. saya lega pula.

***
kawan, lihatlah ke bawah, masih banyak Lestari-lestari cerdik di 'lubang kemiskinan material'. hingga menempuh pendidikan pun tak mampu.
Semoga Lestari legowo, lilo, dan riang seperti saya ketika mendapat kabar bahwa dia akan kembali merajut benang-benang impiannya.

Tri Wahyu Utami.

Senin, 08 Maret 2010

Ngaben, Bangkitkan Semangat Hindu di Jawa Tengah

Upacara pembakaran mayat rupanya tak hanya berlaku bagi orang Bali. Tanggal 15 Februari 2010 lalu, di Desa Segara Gunung, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, upacara pembakaran mayat atau palebon Romo Pandito Joyokusumo dan istri dilangsungkan di Padepokan Segara Gunung. Rangkaian upacara berlangsung selama lima hari, yakni mulai dari penggalian jenasah hingga penghanyutan abu jenasah ke pantai Ngobaran, Gunung Kidul, Yogjakarta.

Serangkaian upacara besar palebon Romo Pandito Joyokusumo beserta istri ini digelar sejak tanggal 11 hingga 15 Februari 2010. Upacara diawali dengan pengangkatan jenasah setelah 1.111 (seribu seratus sebelas) hari meninggalnya mendiang Romo Pandito Joyokusumo dari pemakaman. Ritual ini dipimpin langsung oleh Sri Bagawan Ratu Gayatri..

Rangkaian upacara kedua yakni mawali, yang digelar dengan berbagai kesenian seperti mekidung dan macapat. Dalam acara ini, para murid dan pengikut padepokan Segara Gunung menghaturkan sembah bhaktinya kepada Romo. Pada hari berikutnya, diadakan upacara tarpana saji atau sesegehan.

Sementara hari keempat, dilaksanakan upacara pembersihan dan melaspas lembu sebagai tempat jenasah saat dibakar.

Inti rangkaian upacarapun jatuh pada hari kelima yaitu upacara palebon atau pembakaran jenasah. Setelah Ida Pedanda Gede Putra Manuaba selesai muput upacara, jenasah ditempatkan pada lembu yang terbuat dari rangkaian berbahan kayu dan bambu yang dibentuk menyerupai lembu kemudian dibakar. Sisa-sisa tulang selanjutnya dibersihkan dan dihaluskan. Setelah tulang tersebut menjadi abu, barulah dimasukkan ke dalam kelapa gading, lalu dihanyutkan di Pantai Ngobaran, Gunung Kidul.

Rangkaian upacara belum berakhir pada penghanyutan abu di pantai. Upacara akan dilanjutkan dengan upacara nyekah dan melinggihkan daksina setelah anggota keluarga siap secara material serta telah ditentukannya hari baik untuk melaksanakannya kelak.

Aneh Tapi Nyata
Romo Pandito Joyokusumo memang tidak asing lagi bagi sebagian besar umat Hindu di Indonesia bahkan di Luar Negeri. Sosoknya yang bijaksana, sederhana dan lugas sangat disegani baik dalam lingkungan keluarga, murid maupun pengikut-pengikutnya. Sifat-sifat mulia yang ia miliki seolah dibawanya hingga beberapa tahun setelah ia meninggal. Aneh tapi memang nyata. Setelah kurang lebih 3 tahun dikubur ditanah, jasad Romo masih utuh. Bahkan jantung dan hatinya masih segar. Anggota badannya masih utuh, saat diangkat dari liang kubur, tubuh Romo sama sekali tidak rapuh. Hal ini mengagetkan setiap sanak keluarga dan pengayah.. “Karma baiknya yang membawa ia sampai begini,” ujar Ida Pedanda Gede Putra Manuaba turut terkagum-kagum.

Ketakjuban ini sempat membuat para pengayah kelabakan. Betapa tidak, prediksi mereka sama sekali melenceng. Mereka kira, setiap orang yang meninggal dan telah dikubur selama 3 tahun lamanya akan mengalami kerapuhan seluruh anggota badannya. Sehingga, mereka telah menyiapkan lembu ukuran sedang. “Kami dikejar waktu untuk menambah ukuran lembu, karena lembu tidak bisa menampung jasad mendiang Romo,” ungkap beberapa pengayah serta murid-murid Romo.

Memang, Romo lebih dikenal sebagai tokoh agama dan budayawan yang tidak pernah mengenal lelah berbuat kebajikan. Sifatnya yang arif bijaksana sebagai seorang pemimpin sudah sangat melekat pada diri seorang Romo Pandito Joyo Kusumo, yang juga mantan pemimpin Padepokan Segoro Gunung. Hingga kini sifat tersebut masih menjadi pegangan bagi ketujuh putra-putrinya bahkan juga bagi murid-muridnya. Sejak meninggal tiga tahun lalu, Padepokan Segoro Gunung belum juga dikaruniai pemimpin selugas Romo.

Putra ke tiganya, Agus Ismoyo saat ditemui disela-sela pengabenan Romo, masih selalu ingat apa yang menjadi prinsip Romo, yaitu demokrasi. Romo selalu mengajarkan, bahwa hidup tidak hanya berumur pendek, tapi selamanya. Dan Romo selalu mengingatkan bagaimana memanfaatkan hidup ini agar selalu memiliki pegangan hidup. “Romolah yang mengajarkan hidup adalah demokrasi, terserah apa yang kita pilih dalam hidup ini, yang penting adalah komitmen diri,” ujar Agus sambil menahan kesedihannya.

Tidak hanya sanak keluarga yang sangat kehilangan, namun meninggalnya Romo dirasakan berat oleh murid-muridnya di padepokan. Bagi mereka, sosok Romo merupakan pemimpin yang sangat bijaksana. Bahkan menurut pengakuan salah satu muridnya, Supono, Romo mampu menerawang segala kejadian yang akan terjadi beberapa detik lagi, bahkan beberapa tahun yang akan datang. Romo juga sangat tekun dalam hal spiritual. Romo gemar bertapa meski latar belakangnya bukan dari keluarga penganut Hindu. Ia talah naik haji dan dulu pernah mengenyam pendidikan di bangku Universitas Islam ternama di Indonesia. “Firasatnya (Romo, red) sangat tajam,” tegas Supono.

Mendiang Romo dilahirkan saat Indonesia masih menjadi jajahan Belanda. Ayahnya seorang pejuang. Bahkan ia dilahirkan saat ibu dan ayahnya dipenjara di Papua. Untuk itu ia pun juga menjadi anggota veteran angkatan empat lima. Masa kecilnya ia habiskan dengan bertapa dan berkelana. Sampai akhirnya ia mendapatkan wangsit bahwa di sekitar Gunung Lawu ada sebuah tempat yang dipenuhi segara atau samudra. Setelah bergelut dengan waktu, ia pun menemukan tempat tersebut. Yakni di Desa Segoro Gunung tepat di lereng barat Gunung Lawu. Di sanalah ia mendirikan padepokan yang dibangun pada tahun 1990. Di padepokan tersebut, Romo juga membangun miniatur semua hasil artefak leluhur di Jawa Tengah khususnya di lereng Gunung Lawu sebelah barat. Baik berupa candi maupun tempat ibadah semua agama di Indonesia.

Meski romo sudah tiada, dan telah diabenkan pada 15 Februari 2010, Padepokan Segoro Gunung masih tetap eksis hingga kini. Setiap hari Minggu Pon, pengikut Romo melakukan penjelajahan spiritual di Padepokan.



Upacara Pelebon Selaraskan Alam
Upacara palebon atau ngaben menurut keterangan sesepuh Jawa Tengah, telah ratusan tahun tidak pernah diadakan lagi. Upacara palebon mempunyai makna menyerahkan kembali sukma dan jasad manusia ke asalnya. Upacara ini juga mengingatkan, bahwa manusia hanyalah sebagian kecil dari alam semesta sehingga harus tetap menjaga keselarasan alam sepanjang hayat.

Sejarah kebudayaan mencatat, bahwa di Jawa khususnya Jawa Tengah, ritual ini tidak pernah diadakan lagi sejak lebih dari 400 tahun lalu, salah satunya lantaran tingginya biaya. Palebon yang terakhir diketahui digelar bagi Prabu Brawijaya sekitar akhir abad ke-15.

“Tujuan utama ngaben adalah memulangkan sang panca maha bhuta atau lima unsur pembentuk manusia, yakni air, api, tanah, ruang dan angina,” jelas Ida Pedanda Gede Putra Manuaba. Dengan membakar jenasah, ia yakin bahwa proses untuk meleburnya badan kasar kepada asalnya akan lebih cepat.

Usai pembakaran mayat, upacara dilanjutkan dengan nganyut abu jenasah ke Pantai Ngobaran, Gunung Kidul. Pantai ngobaran merupakan lokasi persembunyian pengikut raja mataram kuno prabu brawijaya yang lari dari kejaran tentara kerajaan demak di bawah kepemimpinan raden patah akhir abad ke-15. Menurut sejarah, Prabu Brawijaya lari ke lereng Gunung Lawu dan mendalami Hindu Kejawen hingga akhir hayatnya.

Tri Wahyu Utami

Sabtu, 06 Februari 2010

Langkah Kecil Cegah Bubar

Ancaman putusnya generasi Hindu di Jawa kian terasa di dusun Mojosawit, Boyolali, Jawa Tengah. Jika tahun 1968 jumlah umat mencapai seratus KK, kini hanya tinggal hitungan jari sebelah tangan alias lima KK. Tetapi, tenang: Sanggar Dharma Santosa memberi harapan.

Banjir sungai Bengawan Solo tahun 1968 merupakan awal catatan umat Hindu di Boyolali, Jawa Tengah. Sekretariat Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang terletak di Solo terpaksa pindah ke Boyolali akibat terdampar banjir. Dari sanalah, Hindu di Boyolali mulai bermunculan. Cikal bakal Hindu kian terlihat jelas di enam kecamatan yaitu Sawit, Ampel, Juwangi, Banyudono, Mojosongo dan Musuk.
Ratusan bahkan ribuan umat Hindu mulai terdata di kantor PHDI pertama di Boyolali itu. Termasuk umat di Dusun Mojosawit. Di sana tercatat ada seratus KK umat Hindu yang dipelopori oleh figur yang akrab dipanggil Eyang Haryo Martaya. Beliaulah seorang tokoh yang membina umat Hindu di Mojosawit sekaligus penyokong dana untuk semua kegiatan keagamaan di dusunnya.
Selama kepemimpinan Eyang Haryo, umat Hindu di Mojosawit sangat tekun beribadah. Segala kegiatan keagamaan berjalan dengan lancar. Bertahun-tahun lamanya, tokoh satu ini menjadi panutan semua umat di dusun tersebut. Namun, setelah Eyang meninggal dunia pada tahun 1977, umat Hindu di Mojosawit mulai surut. Mereka telah ‘kecanduan’ alias tergantung pada sosok pemimpin Eyang Haryo. Sejak saat itu tak ada lagi motivator, donatur, pembinaan, upacara keagamaan, dan kegiatan agama lainnya. Umat tidak memiliki semangat lagi di bidang spiritual. Sampai tahun 2006 lalu, jumlah umat Hindu di Mojosawit hanya tersisa sepuluh KK. Kebanyakan dari umat memilih keyakinan lain yang lebih ‘menjanjikan’ dalam hal kepemimpinan.
Begitulah sejarah berlalu seperti kilatan lampu blitz: menyentak sekaligus menyilaukan. Membongkar seluruh struktur bangunan kepribadiaan seseorang, lalu membangunnya kembali—dengan perhitungan.
Kini, sang cucu Eyang Haryo Martaya, Sutopo mencoba mengumpulkan puing-puing kenangan itu dengan ingatnnya yang terbatas. Ia mendirikan sebuah sanggar yang diberi nama Sanggar Dharma Santosa untuk menampung, menghidupkan semangat keguyuban dan solidaritas keberagamaan.
***
Mojosawit, 7 Juni 2009. Jarum jam baru saja bergerak dari angka delapan pagi. Pintu gerbang rumah mendiang Eyang Haryo Martaya sudah dipenuhi among tamu yakni beberapa orang penyambut tamu. “Monggo…,” sambut mereka seraya menjabat tangan para tamu undangan.
Tamu-tamu itupun mengulurkan tangan dan menjabat tangan among tamu dengan erat. “Injih matur suwun,” sahut tamu-tamu itu sambil tersenyum ramah. Pagi itu memang tak seperti biasanya, sebab Sanggar Dharma Santosa yang berada di pekarangan rumah Eyang sedang merayakan hari ulang tahunnya yang keempat. Dalam Hindu disebut upacara piodalan tepatnya jatuh pada purnamaning kaping dua belas.
Dalam waktu sekejap, halaman rumah mendiang Eyang Haryo Martaya sekaligus depan sanggar telah dipadati umat Hindu dari beberapa daerah seperti Solo, Klaten dan Yogjakarta. Sanggar berukuran 10 x 12 meter jelas saja tak mampu menampung muatan umat yang terus berdatangan. Sehingga mereka harus duduk di halaman rumah Eyang beralaskan tikar dan beratapkan tenda.
Di dalam sanggar, banten telah tertata rapi di depan patung lingga yoni berukuran besar. Tak lama kemudian, Romo Puja Bratajati mengalunkan genta dan melantunkan mantra-mantra suci. Saat itulah, umat Hindu di dalam maupun di luar sanggar dengan khusuk mengiringi Romo muput upacara dengan menyanyikan kidung suci.
Di depan kanan kiri sanggar nampak dua buah penjor yang menjulang tinggi. Banten di dalam sanggar pun terlihat menarik dengan hiasan berbagai bentuk jaritan janur kuning. Selesai muput, Romo memimpin persembahyangan dan diamini dengan tirta serta bija. Untuk lebih menguatkan sradha umat, acara juga diselipkan dharma wacana yang dibawakan oleh tokoh Hindu dari Yogjakarta.
Pukul dua belas tepat upacara usai. Umat tidak langsung berpulang ke rumah masing-masing. Mereka masih asyik berbincang-bincang dengan umat yang berasal dari daerah lain. Mereka terlihat rukun saling silaturahmi sekedar menanyakan kabar.
Di ruang tamu Eyang Haryo Martaya nampak seorang lelaki berbusana adat Jawa lengkap dengan ikat kelapa yang dibentuk seperti blangkon sedang duduk santai. Dialah Sutopo, cucu Eyang Haryo Martaya. Bapak berputra satu inilah yang berkewajiban merawat dan memelihara Sanggar seperti amanat Eyang.
***
Ketika ditemui, ia tersenyum ramah. Perbincangan dimulai. Awalnya memang ada rasa grogi melihat kewibawaan Sutopo. Bisa ditebak, bahwa ia merupakan tokoh yang tak gentar menghadapi rintangan yang terus melanda umat Hindu di Mojosawit. Sejenak kemudian, perbincangan mulai mencair. Pertama-tama ia menjelaskan makna piodalan di Sanggar depan rumah Eyangnya disertai sejarah pendiriannya.
“Tidak hanya manusia yang mengharapkan kebahagiaan saat ulang tahun, begitu pula Sanggar ini,” ujarnya lirih. Bila pesta ulang tahun seseorang dimeriahkan dengan sajian pernak-pernik hiasan rumah dan makanan, piodalan kali ini juga menampilkan beberapa sajian banten yang dipersembahkan kepada Tuhan.
Bebantenan yang dipersembahkan pada piodalan itu memang terlihat semarak, namun Topo tak mampu menyembunyikan kekecewaannya. “Piodalan kali ini tidak semeriah tahun-tahun yang lalu,” ungkapnya sedih.
Mata Topo menerawang ke langit-langit rumah, seolah-olah membayangan keguyuban umat Hindu di era sang kakek masih sugeng. Namun, ’time waits for nobody’, demikian lengkingan falsetto dari penyanyi Freddie Mercury. Pememimpin karismatik itupun meninggal. Lalu hadir ‘agama’ baru — yang amit-amit jabang bayi — didukung negara, yaitu kapitalisme. Bukan hanya itu, perkawinan negara dan kapitalisme ditunggagi oleh agama-agama resmi guna menyampaikan gerakan penyebaran agama. Ya..iyalah ya jelas ’kalah’. Kondisi umat Hindu di Mojosawit pun secara perlahan tapi pasti terus menyusut.
Sampai akhirnya, sang cucu Eyang Haryo Martaya, Sutopo terkena kilatan lampu blitz itu tadi.
Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, Sutopo mencari sebuah alternatif. Ia senantiasa berupaya melestarikan Hindu di Mojosawit dengan membangun sebuah tempat ibadah bernama Sanggar Dharma Santosa di depan rumah Eyang pada purnamaning kaping dua belas tahun 2006. Nama Sanggar itu dirujuk dari kata dharma yang berarti kebenaran dan santosa adalah nama Eyang sewaktu kecil. Baginya, meski tinggal sepuluh KK, tak ada kata terlambat jika ingin bertahan. Itu saja sudah bagus. Syukur-syukur bila berkembang.
Hamparan tanah yang sekarang dibangun Sanggar tersebut merupakan warisan dari Eyang. Dahulu tanah itu sudah dilirik warga lain, bahkan akan dibeli seharga seratus juta, tapi pihak keluarga Topo tidak melepaskannya sebab tanah itu adalah warisan eyang yang mesti dirawat dan dijaga.
Sebelum pembangunan Sanggar, Topo berembug dengan keluarga besar. Syukurlah semua menyetujuinya. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Pandita Joyokusumo. “Kami membangun sanggar ini untuk mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih kami terhadap eyang,” ungkap pria berkumis lebat ini.
Meskipun umat Hindu di Mojosawit kian menyurut hingga lima KK pada tahun 2009, namun Sanggar tersebut masih tetap dikunjungi umat. Biasanya, mereka bersembahyang pada malam Selasa Kliwon yang diyakini sebagai hari suci para petani sekaligus bertepatan dengan hari meninggalnya Eyang. “Umat non Hindu juga sering datang ke Sanggar untuk memohon petunjuk,” serunya berbesar hati.
Mungkinkah generasi Hindu Mojosawit terputus? ’Hindu militan’, begitu sebutan Topo untuk umat Hindu di Mojosawit yang tinggal lima KK itu. Mereka tahan banting meski sering diiming-imingi materi apapun dan oleh siapapun yang berniat mengusik keyakinan mereka. Topo percaya, walaupun dengan dan tanpa eyang, mereka tetap teguh pada agama Hindu.
Memang, sosok kepemimpinan Eyang berpengaruh besar terhadap keberadaan Hindu di Mojosawit. Dulu, sebelum dibangun sanggar umat Hindu yang terus menyusut itu hanya bisa berkumpul di rumah salah satu Pinandita. Lama-kelamaan, mereka merasa takut kalau-kalau ada prasangka buruk dari kerabat maupun tetangga dengan menggelar persembahyangan di sebuah kompleks perumahan. “Kami tetap setia melaksanakan persembahyangan purnama-tilem di rumah Pinandita Sasih,” kenang mantan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang penanganan kemiskinan ini.
Menjadi seorang pemimpin memang tidaklah mudah. Vibrasinya sangat terasa bahkan saat sang pemimpin itu sudah sedo (meninggal). Pemimpin adalah panutan, ia berhak mengadakan dan memberhentikan. Jika Hindu di Mojosawit kini tersisa lima KK, itupun karena pemimpinnya bernama Eyang Haryo Martaya. Dan, sembilan puluh lima KK lainnya tentu saja juga pernah mengenyam kepemimpinan Eyang. Sayangnya, habis manis sepah dibuang. Kurang lebih begitu hitung-hitungannya. Bisa benar dan juga bisa…..?
Tri Wahyu Utami

Kapitalisme Agawe Bubrah

Kapitalisme memang liat. Ia bisa mengubah identitas keagamaan seseorang bahkan hanya dengan 1 kg beras. Sebuah komunitas Hindu di Magetan melawan kapitalisme, seperti arisan dan dana punia, dengan mengharamkannya. Lho ?

Jawa, salah satu pulau di antara pulau-pulau di Indonesia yang banyak diminati dan dijadikan tempat bermukim. Semua fasilitas ada di pulau yang menjadi ibukota Indonesia ini. Maka, tak heran jika penduduk Indonesia numplek jadi satu di pulau yang cukup sempit ini.
Di Jawalah, Hindu pada masanya berkembang pesat. Keruntuhan Majapahit menghantarkan Hindu pada sebuah pilihan. Lari ke daerah lain, atau bersembunyi di pelosok-pelosok agar terhindar dari peperangan. Bali, menjadi tempat mengadu nasib. Bahkan, Bali hingga kini menjadi identik dengan sebutan tanah Hindu. Sedangkan bagi mereka yang tetap bertahan di Jawa mesti hidup jauh dari keramaian kota. Untuk itulah, Hindu di Jawa banyak ditemui di pedesaan atau kampung yang berada di lereng-lereng gunung di seantero Jawa.
Gunung Gambar di Gunungkidul misalnya. Di lereng-lereng gunung itulah, tepatnya di dusun Gunung Gambar, desa Kampung, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta masih ada beberapa gelintir umat Hindu yang tetap bertahan dengan keyakinannya. Dusun dengan tanahnya yang tandus ini lebih dikenal orang sebagai sebuah tempat yang keramat. Di puncak gunung itulah digunakan sebagai tempat untuk melakukan ritual-ritual keagamaan atau ritual desa yang diyakini penduduk sekitar.
Tahun 1964 – 1970, Hindu di dusun Gunung Gambar berjaya. Dari jumlah 60 KK, 95 persen diantaranya memeluk agama Hindu. Segala macam kegiatan upacara keagamaan berlangsung dengan lancar, rukun dan damai. Meskipun saat itu umat belum memiliki tempat ibadah khusus seperti sekarang ini.
Lacur, keadaan kian memburuk dari tahun ke tahun. Umat Hindu mulai menyusut sampai tahun 2009 yang tinggal 30 KK berkisar antara 100 hingga 104 umat saja. Berbagai kendala dan halangan merintangi pertahanan keyakinan Hindu di tengah-tengah agama-agama besar resmi lainnya di Indonesia. Tidak hanya faktor ekstern, namun persoalan intern lebih intim menghantam benteng kokoh yang telah tertanam beratus-ratus tahun lamanya di hati umat Hindu di Gunung Gambar.
Kasus intern guru agama Hindu misalnya. Saat Hindu berjaya, kasus ini menjadi momok yang tak terhindarkan bahkan terus berlanjut. Betapa sulitnya mencari guru agama bahkan panutan saat itu. Tiba salah satu orang yang mampu, dia bagaikan menikam dari belakang. “Bu Guru kae kepencut wong Islam trus pindah (Bu Guru itu tertarik dengan orang Islam lalu pindah agama),” ungkap pengempon Pura Ngesti Brata Dharma yang berada di dusun Gunung Gambar, Brata.
Lelaki yang menghabiskan setiap malam-malamnya mekemit di Pura ini begitu menyayangkan kasus itu. Bagaimana nasib murid-muridnya? Brata, yang akrab dipanggil Pak Broto ini menceritakan kelanjutan kisah umat Hindu di Gunung Gambar pada saat itu, meski dengan amat kecewa. Guru agama Hindu yang telah dipercayai mengajarkan agama Hindu dengan baik itu tak lama kemudian hengkang dan menikah dengan lelaki muslim pilihannya hingga status guru agama Hindu dilepas. Jelas saja, murid-murid tak memiliki guru agama lagi, dan mau tidak mau mereka turut terpikat dengan kepercayaan lain yang baginya lebih menjanjikan. Dan yang lebih penting, mereka memilih keyakinan yang ada guru agamanya biar lebih mudah.
Apa yang bisa dilakukan oleh Broto selain berpangku tangan? Saat itu tak ada yang namanya Pasraman, Pura, bahkan cara-cara tradisi Hindu pun belum sepenuhnya mereka mengerti.
Masih pada tahun-tahun itu, selain kasus intern ternyata kasus yang membelit umat Hindu di Gunung Gambar juga tak jauh dari kasus di pelosok desa lainnya. Kesulitan mengurus akta nikah menjadi sebuah ancaman besar. Tidak mungkin ‘kan, apabila orang gagal menikah hanya gara-gara tidak memiliki akta nikah dan tetap bertahan dengan Hindunya?
Tentu saja, agar perkawinan sah dimata agama dan Negara, jalan satu-satunya yakni berpindah agama. Tidak hanya satu, dua, tiga umat, namun begitu banyak yang saat itu beralih agama karena tak mendapatkan pelayanan yang sama di hadapan Negara yang demokratis ini. “Aku we ndek mbiyen yo nikah Islam, ning bali Hindu meneh bubar nikah (Saya dulu juga menikah secara Islam, tapi saya Hindu lagi setelah menikah),” begitu ia melanjutkan.
Setelah tahun 90-an, urusan menikah ala Hindu mulai dilayani pemerintah. Sejak itu, umat Hindu tak lagi mengorbankan keyakinannya menjelang hari pernikahan. Kalaupun harus berpindah agama, paling-paling bagi pasangan yang berbeda agama mesti memilih keputusan yang tepat.
Ajakan untuk berpindah agama begitu mudah di dusun yang terkenal dengan tempat wisata dan spiritual Gunung Gambar ini. “Menawi dugi poso niko Mbak, umat Hindu gampil dipengaruhi (Saat datang puasa Ramadhan, umat Hindu mudah dipengaruhi),” lanjut Broto bernada geram. Biasanya, menjelang Idul Fitri umat Islam melaksanakan puasa Ramadhan. Saat itulah, umat Islam mengumpulkan beras untuk disumbangkan kepada fakir miskin. Tak terkecuali ke rumah-rumah umat yang beragama Hindu. Kontan saja mereka dengan mudah diajak pergi ke Masjid untuk sholat bersama. Kasus ini masih terjadi hingga Ramadhan tahun 2008 lalu.
Untungnya, dari jumlah yang hanya 30 KK tersebut, 30 umat diantaranya masih aktif mengikuti kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di Pura atau rumah masing-masing. Bahkan, ada siswa-siswi yang dengan giat mengikuti Pasraman atau belajar agama Hindu bersama di Pura setiap hari minggu pagi.
Apa yang dirasakan Broto tentu tak berbeda dengan umat Hindu yang berada di daerah lain yang saat ini mengalami keadaan sepadan. Yang ada hanyalah, tak berdaya dan kepasrahan. Seperti kasus yang terjadi di Magetan, Jawa Timur. Dari ratusan KK umat Hindu di daerah itu, hingga tahun 2009 ini hanya tercacat 60 umat saja. Kisah tragis yang melanda umat Hindu di Magetan ini juga tak jauh berbeda dengan yang ada di dusun Gunung Gambar. Untuk itulah, umat Hindu yang semakin surut ini mesti di berikan trik agar nantinya tak putus generasi.
Salah satunya dengan menggelar persembahyangan setiap malam Selasa Kliwon seperti yang dilakukan oleh tokoh Hindu Magetan, Adi Wiyono. Acara tersebut berkutat pada pitutur yaitu tutur tinutur semacam dharma wacana tapi lebih menekankan pada dialog. Karena Hindu di dusun Baron, Kecamatan Kawedanan, Magetan ini tak memiliki Pura, maka kegiatan rutin dilaksanakan di Sanggar Tutur tepatnya di pekarangan rumah Adi.
“Ada Pura yang bernama Pura Sangga Bhuana Maspati tapi jauh sekali, empat jam baru sampai,” ujarnya. Pura tersebut didirikan oleh anggota angkatan dari Bali sebanyak 60 orang se-karisidenan – Ponorogo, Madiun, Ngawi, Gorang-gareng.
Di dusun Baron itu, Adi adalah sosok tokoh yang dipanuti oleh umat setempat. Dia memperjuangkan guru agama agar ada pengasuh untuk murid-murid Hindu di sekolahan. Biasanya satu guru agama mendidik murid hindu di beberapa sekolahan. Setiap satu minggu sekali, di Sanggar Tutur tersebut juga diadakan pertemuan-pertemuan. Tapi uniknya, Adi melarang umat Hindu menggelar arisan dan dana punia. Menurutnya, arisan dan dana punia atau kegiatan yang berhubungan dengan material akan memperpecah persaudaraan. “Kalau nanti tidak punya uang trus tidak datang,” katanya. Arisan dan dana punia merupakan sebuah kapitalisme yang mesti dibuang jauh-jauh oleh Hindu yang masih kental dengan Majapahit itu.
Tri Wahyu Utami

Lagu Rindu Perempuan Hindu Yogya

Lagu Rindu Perempuan Hindu Yogya

Sekian lama sudah perempuan Hindu Yogya merindukan kedatangan kebebasan beragama. Bukankah negara telah berjanji memberi kemerdekaan itu? Bahkan ada yang ‘dikeroyok’ untuk meninggalkan Hindu. Rindu semakin menusuk…..

Jauh sebelum republik ini diproklamasikan, urusan agama sudah menjadi perdebatan sengit di meja para pejuang. Di satu sisi mereka menyadari keberagaman masyarakat Indonesia dan di sisi lain muncul pula kesadaran akan makna penting kesatuan. Maka, semboyan bhineka tunggal ika pun dipilih sebagai semboyan negara. Dalam kasus keberagaman beragama yang terjadi justru sebaliknya: ketunggalan lebih ditonjolkan dibanding kebhinekaan.
Demi ketunggalan, kelompok Islam politik berebut peran dalam struktur pemerintahan dengan kelompok kejawen. Kompromi dicapai, pada 3 Januari 1946, kaum Islam modernis menjabat pada Kementrian Agama, yaitu H.M. Rasjidi dan kaum Kejawen menduduki Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Ki Hajar Dewantoro.
Atas nama kesatuan pula pada tahun 1952, Kementrian Agama berusaha untuk mengimplementasikan kebijakan K.H. Wahid Hasyim untuk meminta ‘orang yang belum beragama’ dimasukkan ke salah satu agama-agama yang telah diterima, yaitu Islam dan Kristen. Ini belum termasuk peristiwa G/30 S/PKI pada tahun 1965/66 yang secara de facto memojokkan kaum yang dalam yuridis formal diidentifikasi sebagai pengikut ‘aliran kepercayaan’.
Maka, perlindungan atas keberagaman agama pun menjadi seperti mitos ratu adil yang dirindukan kehadirannya. Imbas lain yang terjadi terutama pada sosok perempuan yang seolah-olah diabaikan dalam perbincangan keberagaman agama. Untuk urusan kebebasan beragama, perempuan kini seolah-olah — seperti dongeng — sedang dipenjara pada sebuah kastil dan menunggu kedatangan seorang pangeran yang membebaskanya: menghirup udara segar kebebasan beragama.
Sariyem (bukan nama asli) misalnya, yang tinggal di Sleman, Yogyakarta. Kala itu menganut agama Hindu. Ia bersama calon suami sepakat untuk melangsungkan perkawinan menurut adat Islam. Selain sistem administrasinya lebih mudah, lelaki yang akan menjadi teman hidupnya itu memang berasal dari keluarga muslim. Setelah menikah dan buku kecil tanda sah perkawinan berada di tangan kedua mempelai, Sariyem tetap teguh pada keyakinannya – Hindu – meski harus berbeda agama dengan sang suami dalam satu atap.
Di rumah sederhana di kecamatan Sayegan, kabupaten Sleman, Yogyakarta itu mereka menempuh hidup baru. Keduanya saling menghormati kegiatan keagamaan masing-masing. Dua tahun berlalu, lahirlah seorang putra semata wayang. Tentu saja, Sariyem dan suaminya memberi kebebasan penuh pada putranya untuk memilih salah satu keyakinan yang dianut Bapak atau Ibunya. Lalu, ia putuskan memilih Islam. Sang ibu pasrah tak berdaya. Demikian juga anak kedua, seorang laki-laki yang lebih memilih ikut keyakinan sang Bapak.
Anak ketiga lahir seorang perempuan. Disusul oleh adiknya yang juga perempuan. Keduanya ikut keyakinan Sariyem. Betapa bahagianya ibu empat anak ini. Namun lacur, setelah dewasa, anak perempuan yang diharapkan mampu melanjutkan keyakinan ibunya itu memilih menikah dengan pria muslim.
Kini tinggal sang ibu dan anak perempuannya yang keempat menyandang status berKTP Hindu. Ini adalah sebuah resiko, gumam Sariyem lirih. Meskipun anak keempatnya memutuskan ikut agama sang bunda, namun karena kesibukannya sebagai karyawati di sebuah perusahaan di Yogja membuatnya tak sempat bergaul dengan umat Hindu lain di kampungnya. Lagi-lagi, Sariyem hanya bisa berpangku tangan pasrah.
Akhirnya, kejadian yang dicemaskan Sariyem terjadi juga. Putri yang diharapkan mampu menemani sang bunda ke Pura telah dinikahi oleh pria beragama Islam. Sariyem begitu terpukul, meski demikian dia selalu tersenyum menahan keperihannya. Lama ia tak keluar rumah, juga tak bergabung dengan umat Hindu lainnya di Pura. Kejadian ini dialaminya lebih dari tiga bulan. Atas kunjungan tetangganya dan ajakan ke Pura, membuat Sariyem kembali tegar. Di usia 60 tahun itu, Sariyem tetap teguh untuk sadar sepenuhnya bahwa ia tak pernah salah memilih keyakinan yang terbaik bagi dirinya. “Kadang-kadang malu juga,” ujar perempuan yang tidak mau dituliskan nama aslinya ini. Sambil menundukan kepala ia hanya bisa bergumam, menyanyikan lagu rindu: “ing sakwijini dino kapungkur…”
Sariyem adalah potret keluarga yang memilih keyakinan secara heterogen dalam satu rumah tangga. Kasus ini juga menunjukan bahwa perempuan seperti diabaikan dalam perbincangan kebebasan beragama. Entah itu alasan yang sifatnya yuridis formal (baca: urusan warisan) maupun alasan yang sifatnya kultural, seperti budaya patrilineal.

Masihkah bebas beragama ?
Apapun pertimbangan para petinggi negara, kebijakan yang muncul tentang formalisasi agama telah mengucilkan kaum perempuan dalam diskursus kebebasan agama yang secara legal formal telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Bukan hanya itu saja, formalisasi agama juga memberi angin pada masyarakat untuk mengunakan kekerasan bagi salah anggotanya untuk memeluk agama mayoritas.
Sebut saja Yati, tetangga desa Sariyem ini juga memiliki cerita hidup tak jauh daripadanya. Yati telah dipersunting oleh jejaka dari dusun Sayegan. Mereka sepakat untuk menikah ala Hindu di Pura dekat rumahnya. Yati yang setia pada suaminya memutuskan untuk memeluk Hindu supaya tak ada lagi perbedaan agama dalam satu keluarga. Tadinya semua berjalan dengan normal. Keduanya hidup rukun di rumah tua sang suami alias rumah mertua Yati. Namun, perempuan yang baru saja menjabat menjadi ibu rumah tangga itu harus pulang ke kampung halaman. Sebab, ia adalah anak tunggal dari kedua orang tuanya. Otomatis Yatilah yang akan mendapatkan warisan harta benda milik orang tuanya.
Mau tidak mau, Yati bersama suami pulang ke kampung halaman. Setibanya di rumah, segerombolan tetangga datang bertamu. Awalnya Yati tak menyangka jika lingkungan kampungnya memaksa dia untuk berpindah agama. Mereka mengatakan: seluruh penduduk di kampung ini diharuskan menganut agama yang sudah ditentukan.
Tentu saja, sang suami tak bisa berkata-kata demikian juga Yati. Sebuah pilihan yang sulit. Kedua orang tua Yati sudah manula, dan berharap Yatilah yang ngopeni. Di satu sisi, ia sudah menyepakati untuk memeluk Hindu dengan sang suami. Lama berembug, akhirnya Yati bersama pujaan hatinya itu memilih mengalah untuk memeluk agama yang dipatrikan sebagai norma di kampungnya. Itulah perjalanan Yati hingga yang mungkin dialami sebagian orang di belahan dunia ini. Kalau tidak demikian, mau apa lagi. Di tengah-tengah kerinduan ini, Yati tidak tahu pada siapa lagi harus mengadu. Yang ada hanya kepasrahan, dan mencoba membesarkan hati dan menyadari bahwa: toh tujuan semua agama sama, meski batin berkata sebaliknya.
Kerapuhan demi kerapuhan, keretakan demi keretakan dalam keluarga Hindu tak bisa terhindarkan. Seakan-akan tak ada jalan keluar paling ampuh untuk mengatasi persoalan ‘berpaling’ keyakinan. Akar telah terlupakan, yang ada hanya daun-daun mulai menghuning dan berguguran. Persoalan mendasar tak pernah terekpose. Entah apa sebenarnya yang menjadi biang keladi hingga hindu di Jawa semakin terguncang dengan situasi yang mempersulitnya. Kasus-kasus internal mapun eksternal menambah pembendaharaan persoalan dari hari ke hari.
“Ya kecewa sekali,” aku Sugiyem, guru agama Hindu di salah satu Sekolah Dasar di Sleman, Yogya. Sebagai pendidik, ia merasa bahwa didikannya pada murid-murid Hindu di Sleman hanya diartikan sebuah pesan. Apabila pesan diingat, ya terima kasih. Dan, jika pesan tak diingat lagi ya sudahlah. Padahal, apa yang Sugiyem ajarkan sejak tahun 80an itu merupakan amanat, bagaimana menguatkan sradha supaya tak mudah tergoyangkan. Menurutnya, beragam rupa persoalan eksternal yang diyakini telah mampu menyeret dan menggoyahkan keimanan umat.
Ia menyebutkan berbagai persoalan eksternal itu, antara lain perkawinan, iming-iming material dan lingkungan. Betapa faktor tersebut dengan cepat mempengaruhi pendirian sejak kecil bahkan sejak dalam kandungan seorang ibu.
Namun, bagaimana jika internal atau pribadi umat Hindu yang sudah kuat? Masih mungkinkah faktor eksternal itu merasuki jiwa? Atau pertanyaan yang sedikit menggugat: Apakah pepatah Jawa yang berlaku bagi perempuan suargo nunut, neroko katut berlaku juga bagi kebebasan beragama ?

Terhimpit, lalu Kepepet
Memang, segala sesuatu terjadi karena ada alasan, keterhimpitan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan yang melicinkan pribadi menjadi semakin kepepet atau terdesak. Akhirnya dihadapkan dalam sebuah pilihan hidup yang sulit.
Maka inilah persoalan mendasar internal Hindu di Jawa atau bahkan di belahan dunia lain dalam arus perubahan dan peralihan dari payung peradaban sederhana ke sistem ekonomi global. Sesungguhnya, siapa yang patut disalahkan? Pribadi, keluarga atau tokoh agama yang tak mampu membius agar hindu terpatri pada umatnya? Pendek kata, ketangguhan ikatan keluarga saja tak mampu menjamin umat Hindu bisa takluk dengan keyakinannya sendiri. Alih-alih memantapkan keyakinannya itu, bertahan pun terasa sulit.
Alangkah banyak pertanyaan mendasar yang patut dicarikan jawaban tuntas dengan melibatkan pelakon agama dari kelas menengah ke bawah hingga menengah atas. Berdiam diri dan menyesali akan hampir terputusnya Hindu di Jawa tidak akan menyelesaikan berbagai macam persoalan yang menghimpit Hindu di Jawa. Alternatif yang masuk akal diantaranya, bernyanyi dengan segenap cinta ke hadapan negara yang telah memberi janji kebebasan beragama pada warganya: “Bila rindu ini masih milikmu//Kuhadirkan sebuah tanya untukmu//Harus berapa lama aku menunggumu…”

Tri Wahyu Utami