Senin, 08 Maret 2010

Ngaben, Bangkitkan Semangat Hindu di Jawa Tengah

Upacara pembakaran mayat rupanya tak hanya berlaku bagi orang Bali. Tanggal 15 Februari 2010 lalu, di Desa Segara Gunung, Kecamatan Ngargoyoso, Kabupaten Karanganyar, Jawa Tengah, upacara pembakaran mayat atau palebon Romo Pandito Joyokusumo dan istri dilangsungkan di Padepokan Segara Gunung. Rangkaian upacara berlangsung selama lima hari, yakni mulai dari penggalian jenasah hingga penghanyutan abu jenasah ke pantai Ngobaran, Gunung Kidul, Yogjakarta.

Serangkaian upacara besar palebon Romo Pandito Joyokusumo beserta istri ini digelar sejak tanggal 11 hingga 15 Februari 2010. Upacara diawali dengan pengangkatan jenasah setelah 1.111 (seribu seratus sebelas) hari meninggalnya mendiang Romo Pandito Joyokusumo dari pemakaman. Ritual ini dipimpin langsung oleh Sri Bagawan Ratu Gayatri..

Rangkaian upacara kedua yakni mawali, yang digelar dengan berbagai kesenian seperti mekidung dan macapat. Dalam acara ini, para murid dan pengikut padepokan Segara Gunung menghaturkan sembah bhaktinya kepada Romo. Pada hari berikutnya, diadakan upacara tarpana saji atau sesegehan.

Sementara hari keempat, dilaksanakan upacara pembersihan dan melaspas lembu sebagai tempat jenasah saat dibakar.

Inti rangkaian upacarapun jatuh pada hari kelima yaitu upacara palebon atau pembakaran jenasah. Setelah Ida Pedanda Gede Putra Manuaba selesai muput upacara, jenasah ditempatkan pada lembu yang terbuat dari rangkaian berbahan kayu dan bambu yang dibentuk menyerupai lembu kemudian dibakar. Sisa-sisa tulang selanjutnya dibersihkan dan dihaluskan. Setelah tulang tersebut menjadi abu, barulah dimasukkan ke dalam kelapa gading, lalu dihanyutkan di Pantai Ngobaran, Gunung Kidul.

Rangkaian upacara belum berakhir pada penghanyutan abu di pantai. Upacara akan dilanjutkan dengan upacara nyekah dan melinggihkan daksina setelah anggota keluarga siap secara material serta telah ditentukannya hari baik untuk melaksanakannya kelak.

Aneh Tapi Nyata
Romo Pandito Joyokusumo memang tidak asing lagi bagi sebagian besar umat Hindu di Indonesia bahkan di Luar Negeri. Sosoknya yang bijaksana, sederhana dan lugas sangat disegani baik dalam lingkungan keluarga, murid maupun pengikut-pengikutnya. Sifat-sifat mulia yang ia miliki seolah dibawanya hingga beberapa tahun setelah ia meninggal. Aneh tapi memang nyata. Setelah kurang lebih 3 tahun dikubur ditanah, jasad Romo masih utuh. Bahkan jantung dan hatinya masih segar. Anggota badannya masih utuh, saat diangkat dari liang kubur, tubuh Romo sama sekali tidak rapuh. Hal ini mengagetkan setiap sanak keluarga dan pengayah.. “Karma baiknya yang membawa ia sampai begini,” ujar Ida Pedanda Gede Putra Manuaba turut terkagum-kagum.

Ketakjuban ini sempat membuat para pengayah kelabakan. Betapa tidak, prediksi mereka sama sekali melenceng. Mereka kira, setiap orang yang meninggal dan telah dikubur selama 3 tahun lamanya akan mengalami kerapuhan seluruh anggota badannya. Sehingga, mereka telah menyiapkan lembu ukuran sedang. “Kami dikejar waktu untuk menambah ukuran lembu, karena lembu tidak bisa menampung jasad mendiang Romo,” ungkap beberapa pengayah serta murid-murid Romo.

Memang, Romo lebih dikenal sebagai tokoh agama dan budayawan yang tidak pernah mengenal lelah berbuat kebajikan. Sifatnya yang arif bijaksana sebagai seorang pemimpin sudah sangat melekat pada diri seorang Romo Pandito Joyo Kusumo, yang juga mantan pemimpin Padepokan Segoro Gunung. Hingga kini sifat tersebut masih menjadi pegangan bagi ketujuh putra-putrinya bahkan juga bagi murid-muridnya. Sejak meninggal tiga tahun lalu, Padepokan Segoro Gunung belum juga dikaruniai pemimpin selugas Romo.

Putra ke tiganya, Agus Ismoyo saat ditemui disela-sela pengabenan Romo, masih selalu ingat apa yang menjadi prinsip Romo, yaitu demokrasi. Romo selalu mengajarkan, bahwa hidup tidak hanya berumur pendek, tapi selamanya. Dan Romo selalu mengingatkan bagaimana memanfaatkan hidup ini agar selalu memiliki pegangan hidup. “Romolah yang mengajarkan hidup adalah demokrasi, terserah apa yang kita pilih dalam hidup ini, yang penting adalah komitmen diri,” ujar Agus sambil menahan kesedihannya.

Tidak hanya sanak keluarga yang sangat kehilangan, namun meninggalnya Romo dirasakan berat oleh murid-muridnya di padepokan. Bagi mereka, sosok Romo merupakan pemimpin yang sangat bijaksana. Bahkan menurut pengakuan salah satu muridnya, Supono, Romo mampu menerawang segala kejadian yang akan terjadi beberapa detik lagi, bahkan beberapa tahun yang akan datang. Romo juga sangat tekun dalam hal spiritual. Romo gemar bertapa meski latar belakangnya bukan dari keluarga penganut Hindu. Ia talah naik haji dan dulu pernah mengenyam pendidikan di bangku Universitas Islam ternama di Indonesia. “Firasatnya (Romo, red) sangat tajam,” tegas Supono.

Mendiang Romo dilahirkan saat Indonesia masih menjadi jajahan Belanda. Ayahnya seorang pejuang. Bahkan ia dilahirkan saat ibu dan ayahnya dipenjara di Papua. Untuk itu ia pun juga menjadi anggota veteran angkatan empat lima. Masa kecilnya ia habiskan dengan bertapa dan berkelana. Sampai akhirnya ia mendapatkan wangsit bahwa di sekitar Gunung Lawu ada sebuah tempat yang dipenuhi segara atau samudra. Setelah bergelut dengan waktu, ia pun menemukan tempat tersebut. Yakni di Desa Segoro Gunung tepat di lereng barat Gunung Lawu. Di sanalah ia mendirikan padepokan yang dibangun pada tahun 1990. Di padepokan tersebut, Romo juga membangun miniatur semua hasil artefak leluhur di Jawa Tengah khususnya di lereng Gunung Lawu sebelah barat. Baik berupa candi maupun tempat ibadah semua agama di Indonesia.

Meski romo sudah tiada, dan telah diabenkan pada 15 Februari 2010, Padepokan Segoro Gunung masih tetap eksis hingga kini. Setiap hari Minggu Pon, pengikut Romo melakukan penjelajahan spiritual di Padepokan.



Upacara Pelebon Selaraskan Alam
Upacara palebon atau ngaben menurut keterangan sesepuh Jawa Tengah, telah ratusan tahun tidak pernah diadakan lagi. Upacara palebon mempunyai makna menyerahkan kembali sukma dan jasad manusia ke asalnya. Upacara ini juga mengingatkan, bahwa manusia hanyalah sebagian kecil dari alam semesta sehingga harus tetap menjaga keselarasan alam sepanjang hayat.

Sejarah kebudayaan mencatat, bahwa di Jawa khususnya Jawa Tengah, ritual ini tidak pernah diadakan lagi sejak lebih dari 400 tahun lalu, salah satunya lantaran tingginya biaya. Palebon yang terakhir diketahui digelar bagi Prabu Brawijaya sekitar akhir abad ke-15.

“Tujuan utama ngaben adalah memulangkan sang panca maha bhuta atau lima unsur pembentuk manusia, yakni air, api, tanah, ruang dan angina,” jelas Ida Pedanda Gede Putra Manuaba. Dengan membakar jenasah, ia yakin bahwa proses untuk meleburnya badan kasar kepada asalnya akan lebih cepat.

Usai pembakaran mayat, upacara dilanjutkan dengan nganyut abu jenasah ke Pantai Ngobaran, Gunung Kidul. Pantai ngobaran merupakan lokasi persembunyian pengikut raja mataram kuno prabu brawijaya yang lari dari kejaran tentara kerajaan demak di bawah kepemimpinan raden patah akhir abad ke-15. Menurut sejarah, Prabu Brawijaya lari ke lereng Gunung Lawu dan mendalami Hindu Kejawen hingga akhir hayatnya.

Tri Wahyu Utami