Sabtu, 06 Februari 2010

Langkah Kecil Cegah Bubar

Ancaman putusnya generasi Hindu di Jawa kian terasa di dusun Mojosawit, Boyolali, Jawa Tengah. Jika tahun 1968 jumlah umat mencapai seratus KK, kini hanya tinggal hitungan jari sebelah tangan alias lima KK. Tetapi, tenang: Sanggar Dharma Santosa memberi harapan.

Banjir sungai Bengawan Solo tahun 1968 merupakan awal catatan umat Hindu di Boyolali, Jawa Tengah. Sekretariat Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang terletak di Solo terpaksa pindah ke Boyolali akibat terdampar banjir. Dari sanalah, Hindu di Boyolali mulai bermunculan. Cikal bakal Hindu kian terlihat jelas di enam kecamatan yaitu Sawit, Ampel, Juwangi, Banyudono, Mojosongo dan Musuk.
Ratusan bahkan ribuan umat Hindu mulai terdata di kantor PHDI pertama di Boyolali itu. Termasuk umat di Dusun Mojosawit. Di sana tercatat ada seratus KK umat Hindu yang dipelopori oleh figur yang akrab dipanggil Eyang Haryo Martaya. Beliaulah seorang tokoh yang membina umat Hindu di Mojosawit sekaligus penyokong dana untuk semua kegiatan keagamaan di dusunnya.
Selama kepemimpinan Eyang Haryo, umat Hindu di Mojosawit sangat tekun beribadah. Segala kegiatan keagamaan berjalan dengan lancar. Bertahun-tahun lamanya, tokoh satu ini menjadi panutan semua umat di dusun tersebut. Namun, setelah Eyang meninggal dunia pada tahun 1977, umat Hindu di Mojosawit mulai surut. Mereka telah ‘kecanduan’ alias tergantung pada sosok pemimpin Eyang Haryo. Sejak saat itu tak ada lagi motivator, donatur, pembinaan, upacara keagamaan, dan kegiatan agama lainnya. Umat tidak memiliki semangat lagi di bidang spiritual. Sampai tahun 2006 lalu, jumlah umat Hindu di Mojosawit hanya tersisa sepuluh KK. Kebanyakan dari umat memilih keyakinan lain yang lebih ‘menjanjikan’ dalam hal kepemimpinan.
Begitulah sejarah berlalu seperti kilatan lampu blitz: menyentak sekaligus menyilaukan. Membongkar seluruh struktur bangunan kepribadiaan seseorang, lalu membangunnya kembali—dengan perhitungan.
Kini, sang cucu Eyang Haryo Martaya, Sutopo mencoba mengumpulkan puing-puing kenangan itu dengan ingatnnya yang terbatas. Ia mendirikan sebuah sanggar yang diberi nama Sanggar Dharma Santosa untuk menampung, menghidupkan semangat keguyuban dan solidaritas keberagamaan.
***
Mojosawit, 7 Juni 2009. Jarum jam baru saja bergerak dari angka delapan pagi. Pintu gerbang rumah mendiang Eyang Haryo Martaya sudah dipenuhi among tamu yakni beberapa orang penyambut tamu. “Monggo…,” sambut mereka seraya menjabat tangan para tamu undangan.
Tamu-tamu itupun mengulurkan tangan dan menjabat tangan among tamu dengan erat. “Injih matur suwun,” sahut tamu-tamu itu sambil tersenyum ramah. Pagi itu memang tak seperti biasanya, sebab Sanggar Dharma Santosa yang berada di pekarangan rumah Eyang sedang merayakan hari ulang tahunnya yang keempat. Dalam Hindu disebut upacara piodalan tepatnya jatuh pada purnamaning kaping dua belas.
Dalam waktu sekejap, halaman rumah mendiang Eyang Haryo Martaya sekaligus depan sanggar telah dipadati umat Hindu dari beberapa daerah seperti Solo, Klaten dan Yogjakarta. Sanggar berukuran 10 x 12 meter jelas saja tak mampu menampung muatan umat yang terus berdatangan. Sehingga mereka harus duduk di halaman rumah Eyang beralaskan tikar dan beratapkan tenda.
Di dalam sanggar, banten telah tertata rapi di depan patung lingga yoni berukuran besar. Tak lama kemudian, Romo Puja Bratajati mengalunkan genta dan melantunkan mantra-mantra suci. Saat itulah, umat Hindu di dalam maupun di luar sanggar dengan khusuk mengiringi Romo muput upacara dengan menyanyikan kidung suci.
Di depan kanan kiri sanggar nampak dua buah penjor yang menjulang tinggi. Banten di dalam sanggar pun terlihat menarik dengan hiasan berbagai bentuk jaritan janur kuning. Selesai muput, Romo memimpin persembahyangan dan diamini dengan tirta serta bija. Untuk lebih menguatkan sradha umat, acara juga diselipkan dharma wacana yang dibawakan oleh tokoh Hindu dari Yogjakarta.
Pukul dua belas tepat upacara usai. Umat tidak langsung berpulang ke rumah masing-masing. Mereka masih asyik berbincang-bincang dengan umat yang berasal dari daerah lain. Mereka terlihat rukun saling silaturahmi sekedar menanyakan kabar.
Di ruang tamu Eyang Haryo Martaya nampak seorang lelaki berbusana adat Jawa lengkap dengan ikat kelapa yang dibentuk seperti blangkon sedang duduk santai. Dialah Sutopo, cucu Eyang Haryo Martaya. Bapak berputra satu inilah yang berkewajiban merawat dan memelihara Sanggar seperti amanat Eyang.
***
Ketika ditemui, ia tersenyum ramah. Perbincangan dimulai. Awalnya memang ada rasa grogi melihat kewibawaan Sutopo. Bisa ditebak, bahwa ia merupakan tokoh yang tak gentar menghadapi rintangan yang terus melanda umat Hindu di Mojosawit. Sejenak kemudian, perbincangan mulai mencair. Pertama-tama ia menjelaskan makna piodalan di Sanggar depan rumah Eyangnya disertai sejarah pendiriannya.
“Tidak hanya manusia yang mengharapkan kebahagiaan saat ulang tahun, begitu pula Sanggar ini,” ujarnya lirih. Bila pesta ulang tahun seseorang dimeriahkan dengan sajian pernak-pernik hiasan rumah dan makanan, piodalan kali ini juga menampilkan beberapa sajian banten yang dipersembahkan kepada Tuhan.
Bebantenan yang dipersembahkan pada piodalan itu memang terlihat semarak, namun Topo tak mampu menyembunyikan kekecewaannya. “Piodalan kali ini tidak semeriah tahun-tahun yang lalu,” ungkapnya sedih.
Mata Topo menerawang ke langit-langit rumah, seolah-olah membayangan keguyuban umat Hindu di era sang kakek masih sugeng. Namun, ’time waits for nobody’, demikian lengkingan falsetto dari penyanyi Freddie Mercury. Pememimpin karismatik itupun meninggal. Lalu hadir ‘agama’ baru — yang amit-amit jabang bayi — didukung negara, yaitu kapitalisme. Bukan hanya itu, perkawinan negara dan kapitalisme ditunggagi oleh agama-agama resmi guna menyampaikan gerakan penyebaran agama. Ya..iyalah ya jelas ’kalah’. Kondisi umat Hindu di Mojosawit pun secara perlahan tapi pasti terus menyusut.
Sampai akhirnya, sang cucu Eyang Haryo Martaya, Sutopo terkena kilatan lampu blitz itu tadi.
Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, Sutopo mencari sebuah alternatif. Ia senantiasa berupaya melestarikan Hindu di Mojosawit dengan membangun sebuah tempat ibadah bernama Sanggar Dharma Santosa di depan rumah Eyang pada purnamaning kaping dua belas tahun 2006. Nama Sanggar itu dirujuk dari kata dharma yang berarti kebenaran dan santosa adalah nama Eyang sewaktu kecil. Baginya, meski tinggal sepuluh KK, tak ada kata terlambat jika ingin bertahan. Itu saja sudah bagus. Syukur-syukur bila berkembang.
Hamparan tanah yang sekarang dibangun Sanggar tersebut merupakan warisan dari Eyang. Dahulu tanah itu sudah dilirik warga lain, bahkan akan dibeli seharga seratus juta, tapi pihak keluarga Topo tidak melepaskannya sebab tanah itu adalah warisan eyang yang mesti dirawat dan dijaga.
Sebelum pembangunan Sanggar, Topo berembug dengan keluarga besar. Syukurlah semua menyetujuinya. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Pandita Joyokusumo. “Kami membangun sanggar ini untuk mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih kami terhadap eyang,” ungkap pria berkumis lebat ini.
Meskipun umat Hindu di Mojosawit kian menyurut hingga lima KK pada tahun 2009, namun Sanggar tersebut masih tetap dikunjungi umat. Biasanya, mereka bersembahyang pada malam Selasa Kliwon yang diyakini sebagai hari suci para petani sekaligus bertepatan dengan hari meninggalnya Eyang. “Umat non Hindu juga sering datang ke Sanggar untuk memohon petunjuk,” serunya berbesar hati.
Mungkinkah generasi Hindu Mojosawit terputus? ’Hindu militan’, begitu sebutan Topo untuk umat Hindu di Mojosawit yang tinggal lima KK itu. Mereka tahan banting meski sering diiming-imingi materi apapun dan oleh siapapun yang berniat mengusik keyakinan mereka. Topo percaya, walaupun dengan dan tanpa eyang, mereka tetap teguh pada agama Hindu.
Memang, sosok kepemimpinan Eyang berpengaruh besar terhadap keberadaan Hindu di Mojosawit. Dulu, sebelum dibangun sanggar umat Hindu yang terus menyusut itu hanya bisa berkumpul di rumah salah satu Pinandita. Lama-kelamaan, mereka merasa takut kalau-kalau ada prasangka buruk dari kerabat maupun tetangga dengan menggelar persembahyangan di sebuah kompleks perumahan. “Kami tetap setia melaksanakan persembahyangan purnama-tilem di rumah Pinandita Sasih,” kenang mantan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang penanganan kemiskinan ini.
Menjadi seorang pemimpin memang tidaklah mudah. Vibrasinya sangat terasa bahkan saat sang pemimpin itu sudah sedo (meninggal). Pemimpin adalah panutan, ia berhak mengadakan dan memberhentikan. Jika Hindu di Mojosawit kini tersisa lima KK, itupun karena pemimpinnya bernama Eyang Haryo Martaya. Dan, sembilan puluh lima KK lainnya tentu saja juga pernah mengenyam kepemimpinan Eyang. Sayangnya, habis manis sepah dibuang. Kurang lebih begitu hitung-hitungannya. Bisa benar dan juga bisa…..?
Tri Wahyu Utami

Kapitalisme Agawe Bubrah

Kapitalisme memang liat. Ia bisa mengubah identitas keagamaan seseorang bahkan hanya dengan 1 kg beras. Sebuah komunitas Hindu di Magetan melawan kapitalisme, seperti arisan dan dana punia, dengan mengharamkannya. Lho ?

Jawa, salah satu pulau di antara pulau-pulau di Indonesia yang banyak diminati dan dijadikan tempat bermukim. Semua fasilitas ada di pulau yang menjadi ibukota Indonesia ini. Maka, tak heran jika penduduk Indonesia numplek jadi satu di pulau yang cukup sempit ini.
Di Jawalah, Hindu pada masanya berkembang pesat. Keruntuhan Majapahit menghantarkan Hindu pada sebuah pilihan. Lari ke daerah lain, atau bersembunyi di pelosok-pelosok agar terhindar dari peperangan. Bali, menjadi tempat mengadu nasib. Bahkan, Bali hingga kini menjadi identik dengan sebutan tanah Hindu. Sedangkan bagi mereka yang tetap bertahan di Jawa mesti hidup jauh dari keramaian kota. Untuk itulah, Hindu di Jawa banyak ditemui di pedesaan atau kampung yang berada di lereng-lereng gunung di seantero Jawa.
Gunung Gambar di Gunungkidul misalnya. Di lereng-lereng gunung itulah, tepatnya di dusun Gunung Gambar, desa Kampung, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta masih ada beberapa gelintir umat Hindu yang tetap bertahan dengan keyakinannya. Dusun dengan tanahnya yang tandus ini lebih dikenal orang sebagai sebuah tempat yang keramat. Di puncak gunung itulah digunakan sebagai tempat untuk melakukan ritual-ritual keagamaan atau ritual desa yang diyakini penduduk sekitar.
Tahun 1964 – 1970, Hindu di dusun Gunung Gambar berjaya. Dari jumlah 60 KK, 95 persen diantaranya memeluk agama Hindu. Segala macam kegiatan upacara keagamaan berlangsung dengan lancar, rukun dan damai. Meskipun saat itu umat belum memiliki tempat ibadah khusus seperti sekarang ini.
Lacur, keadaan kian memburuk dari tahun ke tahun. Umat Hindu mulai menyusut sampai tahun 2009 yang tinggal 30 KK berkisar antara 100 hingga 104 umat saja. Berbagai kendala dan halangan merintangi pertahanan keyakinan Hindu di tengah-tengah agama-agama besar resmi lainnya di Indonesia. Tidak hanya faktor ekstern, namun persoalan intern lebih intim menghantam benteng kokoh yang telah tertanam beratus-ratus tahun lamanya di hati umat Hindu di Gunung Gambar.
Kasus intern guru agama Hindu misalnya. Saat Hindu berjaya, kasus ini menjadi momok yang tak terhindarkan bahkan terus berlanjut. Betapa sulitnya mencari guru agama bahkan panutan saat itu. Tiba salah satu orang yang mampu, dia bagaikan menikam dari belakang. “Bu Guru kae kepencut wong Islam trus pindah (Bu Guru itu tertarik dengan orang Islam lalu pindah agama),” ungkap pengempon Pura Ngesti Brata Dharma yang berada di dusun Gunung Gambar, Brata.
Lelaki yang menghabiskan setiap malam-malamnya mekemit di Pura ini begitu menyayangkan kasus itu. Bagaimana nasib murid-muridnya? Brata, yang akrab dipanggil Pak Broto ini menceritakan kelanjutan kisah umat Hindu di Gunung Gambar pada saat itu, meski dengan amat kecewa. Guru agama Hindu yang telah dipercayai mengajarkan agama Hindu dengan baik itu tak lama kemudian hengkang dan menikah dengan lelaki muslim pilihannya hingga status guru agama Hindu dilepas. Jelas saja, murid-murid tak memiliki guru agama lagi, dan mau tidak mau mereka turut terpikat dengan kepercayaan lain yang baginya lebih menjanjikan. Dan yang lebih penting, mereka memilih keyakinan yang ada guru agamanya biar lebih mudah.
Apa yang bisa dilakukan oleh Broto selain berpangku tangan? Saat itu tak ada yang namanya Pasraman, Pura, bahkan cara-cara tradisi Hindu pun belum sepenuhnya mereka mengerti.
Masih pada tahun-tahun itu, selain kasus intern ternyata kasus yang membelit umat Hindu di Gunung Gambar juga tak jauh dari kasus di pelosok desa lainnya. Kesulitan mengurus akta nikah menjadi sebuah ancaman besar. Tidak mungkin ‘kan, apabila orang gagal menikah hanya gara-gara tidak memiliki akta nikah dan tetap bertahan dengan Hindunya?
Tentu saja, agar perkawinan sah dimata agama dan Negara, jalan satu-satunya yakni berpindah agama. Tidak hanya satu, dua, tiga umat, namun begitu banyak yang saat itu beralih agama karena tak mendapatkan pelayanan yang sama di hadapan Negara yang demokratis ini. “Aku we ndek mbiyen yo nikah Islam, ning bali Hindu meneh bubar nikah (Saya dulu juga menikah secara Islam, tapi saya Hindu lagi setelah menikah),” begitu ia melanjutkan.
Setelah tahun 90-an, urusan menikah ala Hindu mulai dilayani pemerintah. Sejak itu, umat Hindu tak lagi mengorbankan keyakinannya menjelang hari pernikahan. Kalaupun harus berpindah agama, paling-paling bagi pasangan yang berbeda agama mesti memilih keputusan yang tepat.
Ajakan untuk berpindah agama begitu mudah di dusun yang terkenal dengan tempat wisata dan spiritual Gunung Gambar ini. “Menawi dugi poso niko Mbak, umat Hindu gampil dipengaruhi (Saat datang puasa Ramadhan, umat Hindu mudah dipengaruhi),” lanjut Broto bernada geram. Biasanya, menjelang Idul Fitri umat Islam melaksanakan puasa Ramadhan. Saat itulah, umat Islam mengumpulkan beras untuk disumbangkan kepada fakir miskin. Tak terkecuali ke rumah-rumah umat yang beragama Hindu. Kontan saja mereka dengan mudah diajak pergi ke Masjid untuk sholat bersama. Kasus ini masih terjadi hingga Ramadhan tahun 2008 lalu.
Untungnya, dari jumlah yang hanya 30 KK tersebut, 30 umat diantaranya masih aktif mengikuti kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di Pura atau rumah masing-masing. Bahkan, ada siswa-siswi yang dengan giat mengikuti Pasraman atau belajar agama Hindu bersama di Pura setiap hari minggu pagi.
Apa yang dirasakan Broto tentu tak berbeda dengan umat Hindu yang berada di daerah lain yang saat ini mengalami keadaan sepadan. Yang ada hanyalah, tak berdaya dan kepasrahan. Seperti kasus yang terjadi di Magetan, Jawa Timur. Dari ratusan KK umat Hindu di daerah itu, hingga tahun 2009 ini hanya tercacat 60 umat saja. Kisah tragis yang melanda umat Hindu di Magetan ini juga tak jauh berbeda dengan yang ada di dusun Gunung Gambar. Untuk itulah, umat Hindu yang semakin surut ini mesti di berikan trik agar nantinya tak putus generasi.
Salah satunya dengan menggelar persembahyangan setiap malam Selasa Kliwon seperti yang dilakukan oleh tokoh Hindu Magetan, Adi Wiyono. Acara tersebut berkutat pada pitutur yaitu tutur tinutur semacam dharma wacana tapi lebih menekankan pada dialog. Karena Hindu di dusun Baron, Kecamatan Kawedanan, Magetan ini tak memiliki Pura, maka kegiatan rutin dilaksanakan di Sanggar Tutur tepatnya di pekarangan rumah Adi.
“Ada Pura yang bernama Pura Sangga Bhuana Maspati tapi jauh sekali, empat jam baru sampai,” ujarnya. Pura tersebut didirikan oleh anggota angkatan dari Bali sebanyak 60 orang se-karisidenan – Ponorogo, Madiun, Ngawi, Gorang-gareng.
Di dusun Baron itu, Adi adalah sosok tokoh yang dipanuti oleh umat setempat. Dia memperjuangkan guru agama agar ada pengasuh untuk murid-murid Hindu di sekolahan. Biasanya satu guru agama mendidik murid hindu di beberapa sekolahan. Setiap satu minggu sekali, di Sanggar Tutur tersebut juga diadakan pertemuan-pertemuan. Tapi uniknya, Adi melarang umat Hindu menggelar arisan dan dana punia. Menurutnya, arisan dan dana punia atau kegiatan yang berhubungan dengan material akan memperpecah persaudaraan. “Kalau nanti tidak punya uang trus tidak datang,” katanya. Arisan dan dana punia merupakan sebuah kapitalisme yang mesti dibuang jauh-jauh oleh Hindu yang masih kental dengan Majapahit itu.
Tri Wahyu Utami

Lagu Rindu Perempuan Hindu Yogya

Lagu Rindu Perempuan Hindu Yogya

Sekian lama sudah perempuan Hindu Yogya merindukan kedatangan kebebasan beragama. Bukankah negara telah berjanji memberi kemerdekaan itu? Bahkan ada yang ‘dikeroyok’ untuk meninggalkan Hindu. Rindu semakin menusuk…..

Jauh sebelum republik ini diproklamasikan, urusan agama sudah menjadi perdebatan sengit di meja para pejuang. Di satu sisi mereka menyadari keberagaman masyarakat Indonesia dan di sisi lain muncul pula kesadaran akan makna penting kesatuan. Maka, semboyan bhineka tunggal ika pun dipilih sebagai semboyan negara. Dalam kasus keberagaman beragama yang terjadi justru sebaliknya: ketunggalan lebih ditonjolkan dibanding kebhinekaan.
Demi ketunggalan, kelompok Islam politik berebut peran dalam struktur pemerintahan dengan kelompok kejawen. Kompromi dicapai, pada 3 Januari 1946, kaum Islam modernis menjabat pada Kementrian Agama, yaitu H.M. Rasjidi dan kaum Kejawen menduduki Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Ki Hajar Dewantoro.
Atas nama kesatuan pula pada tahun 1952, Kementrian Agama berusaha untuk mengimplementasikan kebijakan K.H. Wahid Hasyim untuk meminta ‘orang yang belum beragama’ dimasukkan ke salah satu agama-agama yang telah diterima, yaitu Islam dan Kristen. Ini belum termasuk peristiwa G/30 S/PKI pada tahun 1965/66 yang secara de facto memojokkan kaum yang dalam yuridis formal diidentifikasi sebagai pengikut ‘aliran kepercayaan’.
Maka, perlindungan atas keberagaman agama pun menjadi seperti mitos ratu adil yang dirindukan kehadirannya. Imbas lain yang terjadi terutama pada sosok perempuan yang seolah-olah diabaikan dalam perbincangan keberagaman agama. Untuk urusan kebebasan beragama, perempuan kini seolah-olah — seperti dongeng — sedang dipenjara pada sebuah kastil dan menunggu kedatangan seorang pangeran yang membebaskanya: menghirup udara segar kebebasan beragama.
Sariyem (bukan nama asli) misalnya, yang tinggal di Sleman, Yogyakarta. Kala itu menganut agama Hindu. Ia bersama calon suami sepakat untuk melangsungkan perkawinan menurut adat Islam. Selain sistem administrasinya lebih mudah, lelaki yang akan menjadi teman hidupnya itu memang berasal dari keluarga muslim. Setelah menikah dan buku kecil tanda sah perkawinan berada di tangan kedua mempelai, Sariyem tetap teguh pada keyakinannya – Hindu – meski harus berbeda agama dengan sang suami dalam satu atap.
Di rumah sederhana di kecamatan Sayegan, kabupaten Sleman, Yogyakarta itu mereka menempuh hidup baru. Keduanya saling menghormati kegiatan keagamaan masing-masing. Dua tahun berlalu, lahirlah seorang putra semata wayang. Tentu saja, Sariyem dan suaminya memberi kebebasan penuh pada putranya untuk memilih salah satu keyakinan yang dianut Bapak atau Ibunya. Lalu, ia putuskan memilih Islam. Sang ibu pasrah tak berdaya. Demikian juga anak kedua, seorang laki-laki yang lebih memilih ikut keyakinan sang Bapak.
Anak ketiga lahir seorang perempuan. Disusul oleh adiknya yang juga perempuan. Keduanya ikut keyakinan Sariyem. Betapa bahagianya ibu empat anak ini. Namun lacur, setelah dewasa, anak perempuan yang diharapkan mampu melanjutkan keyakinan ibunya itu memilih menikah dengan pria muslim.
Kini tinggal sang ibu dan anak perempuannya yang keempat menyandang status berKTP Hindu. Ini adalah sebuah resiko, gumam Sariyem lirih. Meskipun anak keempatnya memutuskan ikut agama sang bunda, namun karena kesibukannya sebagai karyawati di sebuah perusahaan di Yogja membuatnya tak sempat bergaul dengan umat Hindu lain di kampungnya. Lagi-lagi, Sariyem hanya bisa berpangku tangan pasrah.
Akhirnya, kejadian yang dicemaskan Sariyem terjadi juga. Putri yang diharapkan mampu menemani sang bunda ke Pura telah dinikahi oleh pria beragama Islam. Sariyem begitu terpukul, meski demikian dia selalu tersenyum menahan keperihannya. Lama ia tak keluar rumah, juga tak bergabung dengan umat Hindu lainnya di Pura. Kejadian ini dialaminya lebih dari tiga bulan. Atas kunjungan tetangganya dan ajakan ke Pura, membuat Sariyem kembali tegar. Di usia 60 tahun itu, Sariyem tetap teguh untuk sadar sepenuhnya bahwa ia tak pernah salah memilih keyakinan yang terbaik bagi dirinya. “Kadang-kadang malu juga,” ujar perempuan yang tidak mau dituliskan nama aslinya ini. Sambil menundukan kepala ia hanya bisa bergumam, menyanyikan lagu rindu: “ing sakwijini dino kapungkur…”
Sariyem adalah potret keluarga yang memilih keyakinan secara heterogen dalam satu rumah tangga. Kasus ini juga menunjukan bahwa perempuan seperti diabaikan dalam perbincangan kebebasan beragama. Entah itu alasan yang sifatnya yuridis formal (baca: urusan warisan) maupun alasan yang sifatnya kultural, seperti budaya patrilineal.

Masihkah bebas beragama ?
Apapun pertimbangan para petinggi negara, kebijakan yang muncul tentang formalisasi agama telah mengucilkan kaum perempuan dalam diskursus kebebasan agama yang secara legal formal telah dijamin oleh Undang-Undang Dasar. Bukan hanya itu saja, formalisasi agama juga memberi angin pada masyarakat untuk mengunakan kekerasan bagi salah anggotanya untuk memeluk agama mayoritas.
Sebut saja Yati, tetangga desa Sariyem ini juga memiliki cerita hidup tak jauh daripadanya. Yati telah dipersunting oleh jejaka dari dusun Sayegan. Mereka sepakat untuk menikah ala Hindu di Pura dekat rumahnya. Yati yang setia pada suaminya memutuskan untuk memeluk Hindu supaya tak ada lagi perbedaan agama dalam satu keluarga. Tadinya semua berjalan dengan normal. Keduanya hidup rukun di rumah tua sang suami alias rumah mertua Yati. Namun, perempuan yang baru saja menjabat menjadi ibu rumah tangga itu harus pulang ke kampung halaman. Sebab, ia adalah anak tunggal dari kedua orang tuanya. Otomatis Yatilah yang akan mendapatkan warisan harta benda milik orang tuanya.
Mau tidak mau, Yati bersama suami pulang ke kampung halaman. Setibanya di rumah, segerombolan tetangga datang bertamu. Awalnya Yati tak menyangka jika lingkungan kampungnya memaksa dia untuk berpindah agama. Mereka mengatakan: seluruh penduduk di kampung ini diharuskan menganut agama yang sudah ditentukan.
Tentu saja, sang suami tak bisa berkata-kata demikian juga Yati. Sebuah pilihan yang sulit. Kedua orang tua Yati sudah manula, dan berharap Yatilah yang ngopeni. Di satu sisi, ia sudah menyepakati untuk memeluk Hindu dengan sang suami. Lama berembug, akhirnya Yati bersama pujaan hatinya itu memilih mengalah untuk memeluk agama yang dipatrikan sebagai norma di kampungnya. Itulah perjalanan Yati hingga yang mungkin dialami sebagian orang di belahan dunia ini. Kalau tidak demikian, mau apa lagi. Di tengah-tengah kerinduan ini, Yati tidak tahu pada siapa lagi harus mengadu. Yang ada hanya kepasrahan, dan mencoba membesarkan hati dan menyadari bahwa: toh tujuan semua agama sama, meski batin berkata sebaliknya.
Kerapuhan demi kerapuhan, keretakan demi keretakan dalam keluarga Hindu tak bisa terhindarkan. Seakan-akan tak ada jalan keluar paling ampuh untuk mengatasi persoalan ‘berpaling’ keyakinan. Akar telah terlupakan, yang ada hanya daun-daun mulai menghuning dan berguguran. Persoalan mendasar tak pernah terekpose. Entah apa sebenarnya yang menjadi biang keladi hingga hindu di Jawa semakin terguncang dengan situasi yang mempersulitnya. Kasus-kasus internal mapun eksternal menambah pembendaharaan persoalan dari hari ke hari.
“Ya kecewa sekali,” aku Sugiyem, guru agama Hindu di salah satu Sekolah Dasar di Sleman, Yogya. Sebagai pendidik, ia merasa bahwa didikannya pada murid-murid Hindu di Sleman hanya diartikan sebuah pesan. Apabila pesan diingat, ya terima kasih. Dan, jika pesan tak diingat lagi ya sudahlah. Padahal, apa yang Sugiyem ajarkan sejak tahun 80an itu merupakan amanat, bagaimana menguatkan sradha supaya tak mudah tergoyangkan. Menurutnya, beragam rupa persoalan eksternal yang diyakini telah mampu menyeret dan menggoyahkan keimanan umat.
Ia menyebutkan berbagai persoalan eksternal itu, antara lain perkawinan, iming-iming material dan lingkungan. Betapa faktor tersebut dengan cepat mempengaruhi pendirian sejak kecil bahkan sejak dalam kandungan seorang ibu.
Namun, bagaimana jika internal atau pribadi umat Hindu yang sudah kuat? Masih mungkinkah faktor eksternal itu merasuki jiwa? Atau pertanyaan yang sedikit menggugat: Apakah pepatah Jawa yang berlaku bagi perempuan suargo nunut, neroko katut berlaku juga bagi kebebasan beragama ?

Terhimpit, lalu Kepepet
Memang, segala sesuatu terjadi karena ada alasan, keterhimpitan ekonomi, pendidikan, dan kesehatan yang melicinkan pribadi menjadi semakin kepepet atau terdesak. Akhirnya dihadapkan dalam sebuah pilihan hidup yang sulit.
Maka inilah persoalan mendasar internal Hindu di Jawa atau bahkan di belahan dunia lain dalam arus perubahan dan peralihan dari payung peradaban sederhana ke sistem ekonomi global. Sesungguhnya, siapa yang patut disalahkan? Pribadi, keluarga atau tokoh agama yang tak mampu membius agar hindu terpatri pada umatnya? Pendek kata, ketangguhan ikatan keluarga saja tak mampu menjamin umat Hindu bisa takluk dengan keyakinannya sendiri. Alih-alih memantapkan keyakinannya itu, bertahan pun terasa sulit.
Alangkah banyak pertanyaan mendasar yang patut dicarikan jawaban tuntas dengan melibatkan pelakon agama dari kelas menengah ke bawah hingga menengah atas. Berdiam diri dan menyesali akan hampir terputusnya Hindu di Jawa tidak akan menyelesaikan berbagai macam persoalan yang menghimpit Hindu di Jawa. Alternatif yang masuk akal diantaranya, bernyanyi dengan segenap cinta ke hadapan negara yang telah memberi janji kebebasan beragama pada warganya: “Bila rindu ini masih milikmu//Kuhadirkan sebuah tanya untukmu//Harus berapa lama aku menunggumu…”

Tri Wahyu Utami