Senin, 03 Januari 2011

Bangkit Lewat Jathilan



Semangat warga dusun Kaliadem, Desa Kepuh Harjo, Cangkringan Sleman patut ditiru. Meski tempat tinggal mereka luluh lantah dan rata tanah akibat erupsi Merapi, namun mereka tetap merayakan tahun baru 2011 dengan menggelar sajian pentas Jathilan.

Ratusan pengungsi yang berada di pos pengungsian Balai Desa Sariharjo, Ngangklik Sleman, malam tahun baru 2011 lalu nampak sumringah. Mereka duduk rapi, siap menyaksikan pagelaran Grumreget Cancut Taliwanda di halaman balai desa yang digelar oleh para relawan dan pengungsi. Tiba-tiba hujan mengguyur deras, mereka saling berhamburan. Namun, semangat pentas ini tidak surut meski acara sempat ditunda dua jam lebih.

Panggung yang dinanti akhirnya dibuka oleh Tari Gembira yang dibawakan enam penari cilik, pembacaan puisi dan perkusi. Tidak lama kemudian, pentas Jathilan digelar. Inilah yang ditunggu-tunggu semua penonton. Semua berdebar.

Gemelan mulai didendangkan dengan gemuruh. Pentas Jathilan dari kelompok Trustho Wilogo Kaliadem lantas diawali tari jaranan oleh anak-anak SD. Dengan menunggangi jaranan yang terbuat dari anyaman rotan, mereka tiba-tiba kesurupan dan menari tanpa kendali mengikuti irama musik gamelan yang mengalun. Aksi mereka disusul penampilan penari remaja dan dewasa. Ketika para penari itu bergerak dan menari, ada salah seorang yang mengawasi dengan memegang pecut. Dialah Cipto, 60 tahun, seorang pawang.

Mbah Cipto, begitu sapaannya, wajib mengawasi jalannya pentas jathilan. Dia mengendalikan roh halus yang merasuki para penari selama melakukan hal di luar nalar dan akal sehat, seperti makan dupa, bunga dan menghirup asap kemenyan. “Sebelum pentas, roh-roh halus ini biasanya sudah menampakan auranya, kalau yang tertarik akan mendekat, kalau tidak tertarik mereka tidak mau datang,” kata Mbah Cipto.

Kelompok Jathilan Trustho Wilogo sudah berdiri sejak tahun 1963. Saat itu Mbah Cipto masih sangat muda. Ia jadi pengendang. Bersama anggota teman lain, Mbah Cipto keliling Jogja main jathilan. “Dulu jathilan untuk ngamen biasa, tidak mengundang roh halus,” lanjutnya.

Lambat laun, kelompok ini kian diminati dan diundang dalam acara-acara Desa, Kecamatan dan Kabupaten. Hasil jirih payah itu dibelikan alat musik gamelan seperti saron, kendang dan gong. Kian tahun, Mbah Cipto semakin dipercaya dan dinobatkan sebagai pawang untuk menghadirkan roh halus. Pertunjukan jathilan pun samakin menarik.

Masih pinjam
Kini, kerja keras untuk menambah alat-alat Jathilan ludes. Mbah Cipto patah harapan. Lahar Merapi telah meratakan rumahnya, gamelan, seragam dan semua perlengkapan Jathilan. “Sudah habis semua...” ungkapnya dengan mata berkaca-kaca.

Alat boleh saja ludes, tapi tidak dengan semangat dan hobi. Mbah Cipto bekerjasama dengan relawan di pos pengungsian, dibantu para pengungsi lain akhirnya bangkit. Mereka kembali menggelar jathilan meski sangat sederhana, paling tidak pentas ini adalah salah satu pengobat kerinduan pada aktivitas seni yang dilakukan sebelum Merapi meletus. “Alat-alatnya ini masih pinjam, yang penting semuanya bisa bangkit dulu,” kata salah satu relawan, Arif Lukman Hakim.

Awalnya, para relawan tidak menyangka acara tersebut bakal disetujui para pengungsi. Ternyata anggapan itu salah, justru antusias mereka berapi-api. Bahkan anggota kelompok jathilan mengaku telah lama menunggu saat-saat untuk bisa berpentas. Jathilan begitu sangat berarti bagi para pengungsi untuk bangkit dari keterpurukan. Bukan untuk mengembalikan harta benda mereka, namun sedikit meringankan beban dan trauma yang mendalam. (Tri Wahyu U.)

Minggu, 02 Januari 2011

Pasraman Kilat ajang berkesenian



Belum lama ini, Pura Jagadnatha Banguntapan Bantul nampak meriah oleh pentas tarian dan lagu-lagu relegi anak. Mereka mengikuti Pasraman Kilat untuk belajar berkesenian dan bersosialisasi antar umat beragama. Keceriaan mereka adalah bukti bahwa kerukunan telah terpupuk dengan subur.

Panggung yang berada di samping Pura dibuka dengan penampilan tiga penari dari Pasraman Widya Bhakti Gunungkidul lewat tariannya berjudul Gembyok Anting-anting. Dilanjutkan dengan gending-gending jawa yang dilantunkan oleh Gema Jagadnatha berjudul Ladrang Slamet.

Lantas, puluhan anak kecil berbusana jawa asli Jogja pun menaiki panggung. Mereka berjejer rapi lalu menyanyikan lagu rohani berjudul Tri Wikrama dan Maha Agung Hyang Widhi. Kedua lagu itu dinyanyikan 17 anggota Pasraman Tunas Mekar asal Banguntapan. Lagu merdu itu diiringi musik akustik gitar dan ditambah dengan tiupan suling serta tepukan jimbe, alat musik semacam kendang.

Koordinator Pasraman Tunas Mekar, Isworo mengatakan kedua lagu itu sempat jadi dadakan. Pasalnya, mereka hanya diberi waktu seminggu untuk latihan sehingga Isworo pun memilih jenis lagu berbahasa Indonesia agar lebih mudah dihafal anak-anak. Meski demikian, penampilan mereka tidak mengecewakan, buktinya tepuk tangan gemuruh penonton mewarnai area panggung. “Dua lagu itu mengisahkan kemahakuasaan Tuhan sang pencipta. Tanpa Beliau kita tidak akan ada,” tutur Isworo.

Pasraman kilat yang digelar selama tiga hari itu juga dimeriahkan oleh kehadiran sendratari bertajuk Gugurnya Sang Subali. Sendratari ini diperankan 20 peserta pasraman dari Eka Dharma Kasian Bantul. Diadopsi dari kisah Ramayana, sendratari itu menceritakan pertempuran Subali dan Sugriwa melawan raksasa. Sampai pada akhirnya kelicikan Subali diketahui Rama. Panah pun berhembus ke tubuh Subali dan meninggal. “Sendratari ini merupakan pesan, bahwa ketidakjujuran dan kejahatan pasti akan dikalahkan oleh kebenaran,” ungkap I Ketut Idep Sukanaya, pengasuh Pasraman Eka Dharma.

Sementara itu, ketua panitia pasraman kilat I Nyoman Dharmayuda mengatakan, kegiatan ini rutin tiap tahun digelar. Selain mengisi liburan panjang selama lebaran, para peserta pasraman diharapkan bisa saling mengenal dan terbekali ilmu pendidikan agama baik teori dan praktek supaya lebih mendalam. “Anak-anak adalah modal bangsa, jadi kita harus membekali moral mereka supaya bisa menjadi generasi penerus yang tangguh,” harap Dharmayuda. (Tri Wahyu U.)