Sabtu, 06 Februari 2010

Kapitalisme Agawe Bubrah

Kapitalisme memang liat. Ia bisa mengubah identitas keagamaan seseorang bahkan hanya dengan 1 kg beras. Sebuah komunitas Hindu di Magetan melawan kapitalisme, seperti arisan dan dana punia, dengan mengharamkannya. Lho ?

Jawa, salah satu pulau di antara pulau-pulau di Indonesia yang banyak diminati dan dijadikan tempat bermukim. Semua fasilitas ada di pulau yang menjadi ibukota Indonesia ini. Maka, tak heran jika penduduk Indonesia numplek jadi satu di pulau yang cukup sempit ini.
Di Jawalah, Hindu pada masanya berkembang pesat. Keruntuhan Majapahit menghantarkan Hindu pada sebuah pilihan. Lari ke daerah lain, atau bersembunyi di pelosok-pelosok agar terhindar dari peperangan. Bali, menjadi tempat mengadu nasib. Bahkan, Bali hingga kini menjadi identik dengan sebutan tanah Hindu. Sedangkan bagi mereka yang tetap bertahan di Jawa mesti hidup jauh dari keramaian kota. Untuk itulah, Hindu di Jawa banyak ditemui di pedesaan atau kampung yang berada di lereng-lereng gunung di seantero Jawa.
Gunung Gambar di Gunungkidul misalnya. Di lereng-lereng gunung itulah, tepatnya di dusun Gunung Gambar, desa Kampung, Kecamatan Ngawen, Kabupaten Gunungkidul, Daerah Istimewa Yogyakarta masih ada beberapa gelintir umat Hindu yang tetap bertahan dengan keyakinannya. Dusun dengan tanahnya yang tandus ini lebih dikenal orang sebagai sebuah tempat yang keramat. Di puncak gunung itulah digunakan sebagai tempat untuk melakukan ritual-ritual keagamaan atau ritual desa yang diyakini penduduk sekitar.
Tahun 1964 – 1970, Hindu di dusun Gunung Gambar berjaya. Dari jumlah 60 KK, 95 persen diantaranya memeluk agama Hindu. Segala macam kegiatan upacara keagamaan berlangsung dengan lancar, rukun dan damai. Meskipun saat itu umat belum memiliki tempat ibadah khusus seperti sekarang ini.
Lacur, keadaan kian memburuk dari tahun ke tahun. Umat Hindu mulai menyusut sampai tahun 2009 yang tinggal 30 KK berkisar antara 100 hingga 104 umat saja. Berbagai kendala dan halangan merintangi pertahanan keyakinan Hindu di tengah-tengah agama-agama besar resmi lainnya di Indonesia. Tidak hanya faktor ekstern, namun persoalan intern lebih intim menghantam benteng kokoh yang telah tertanam beratus-ratus tahun lamanya di hati umat Hindu di Gunung Gambar.
Kasus intern guru agama Hindu misalnya. Saat Hindu berjaya, kasus ini menjadi momok yang tak terhindarkan bahkan terus berlanjut. Betapa sulitnya mencari guru agama bahkan panutan saat itu. Tiba salah satu orang yang mampu, dia bagaikan menikam dari belakang. “Bu Guru kae kepencut wong Islam trus pindah (Bu Guru itu tertarik dengan orang Islam lalu pindah agama),” ungkap pengempon Pura Ngesti Brata Dharma yang berada di dusun Gunung Gambar, Brata.
Lelaki yang menghabiskan setiap malam-malamnya mekemit di Pura ini begitu menyayangkan kasus itu. Bagaimana nasib murid-muridnya? Brata, yang akrab dipanggil Pak Broto ini menceritakan kelanjutan kisah umat Hindu di Gunung Gambar pada saat itu, meski dengan amat kecewa. Guru agama Hindu yang telah dipercayai mengajarkan agama Hindu dengan baik itu tak lama kemudian hengkang dan menikah dengan lelaki muslim pilihannya hingga status guru agama Hindu dilepas. Jelas saja, murid-murid tak memiliki guru agama lagi, dan mau tidak mau mereka turut terpikat dengan kepercayaan lain yang baginya lebih menjanjikan. Dan yang lebih penting, mereka memilih keyakinan yang ada guru agamanya biar lebih mudah.
Apa yang bisa dilakukan oleh Broto selain berpangku tangan? Saat itu tak ada yang namanya Pasraman, Pura, bahkan cara-cara tradisi Hindu pun belum sepenuhnya mereka mengerti.
Masih pada tahun-tahun itu, selain kasus intern ternyata kasus yang membelit umat Hindu di Gunung Gambar juga tak jauh dari kasus di pelosok desa lainnya. Kesulitan mengurus akta nikah menjadi sebuah ancaman besar. Tidak mungkin ‘kan, apabila orang gagal menikah hanya gara-gara tidak memiliki akta nikah dan tetap bertahan dengan Hindunya?
Tentu saja, agar perkawinan sah dimata agama dan Negara, jalan satu-satunya yakni berpindah agama. Tidak hanya satu, dua, tiga umat, namun begitu banyak yang saat itu beralih agama karena tak mendapatkan pelayanan yang sama di hadapan Negara yang demokratis ini. “Aku we ndek mbiyen yo nikah Islam, ning bali Hindu meneh bubar nikah (Saya dulu juga menikah secara Islam, tapi saya Hindu lagi setelah menikah),” begitu ia melanjutkan.
Setelah tahun 90-an, urusan menikah ala Hindu mulai dilayani pemerintah. Sejak itu, umat Hindu tak lagi mengorbankan keyakinannya menjelang hari pernikahan. Kalaupun harus berpindah agama, paling-paling bagi pasangan yang berbeda agama mesti memilih keputusan yang tepat.
Ajakan untuk berpindah agama begitu mudah di dusun yang terkenal dengan tempat wisata dan spiritual Gunung Gambar ini. “Menawi dugi poso niko Mbak, umat Hindu gampil dipengaruhi (Saat datang puasa Ramadhan, umat Hindu mudah dipengaruhi),” lanjut Broto bernada geram. Biasanya, menjelang Idul Fitri umat Islam melaksanakan puasa Ramadhan. Saat itulah, umat Islam mengumpulkan beras untuk disumbangkan kepada fakir miskin. Tak terkecuali ke rumah-rumah umat yang beragama Hindu. Kontan saja mereka dengan mudah diajak pergi ke Masjid untuk sholat bersama. Kasus ini masih terjadi hingga Ramadhan tahun 2008 lalu.
Untungnya, dari jumlah yang hanya 30 KK tersebut, 30 umat diantaranya masih aktif mengikuti kegiatan keagamaan yang diselenggarakan di Pura atau rumah masing-masing. Bahkan, ada siswa-siswi yang dengan giat mengikuti Pasraman atau belajar agama Hindu bersama di Pura setiap hari minggu pagi.
Apa yang dirasakan Broto tentu tak berbeda dengan umat Hindu yang berada di daerah lain yang saat ini mengalami keadaan sepadan. Yang ada hanyalah, tak berdaya dan kepasrahan. Seperti kasus yang terjadi di Magetan, Jawa Timur. Dari ratusan KK umat Hindu di daerah itu, hingga tahun 2009 ini hanya tercacat 60 umat saja. Kisah tragis yang melanda umat Hindu di Magetan ini juga tak jauh berbeda dengan yang ada di dusun Gunung Gambar. Untuk itulah, umat Hindu yang semakin surut ini mesti di berikan trik agar nantinya tak putus generasi.
Salah satunya dengan menggelar persembahyangan setiap malam Selasa Kliwon seperti yang dilakukan oleh tokoh Hindu Magetan, Adi Wiyono. Acara tersebut berkutat pada pitutur yaitu tutur tinutur semacam dharma wacana tapi lebih menekankan pada dialog. Karena Hindu di dusun Baron, Kecamatan Kawedanan, Magetan ini tak memiliki Pura, maka kegiatan rutin dilaksanakan di Sanggar Tutur tepatnya di pekarangan rumah Adi.
“Ada Pura yang bernama Pura Sangga Bhuana Maspati tapi jauh sekali, empat jam baru sampai,” ujarnya. Pura tersebut didirikan oleh anggota angkatan dari Bali sebanyak 60 orang se-karisidenan – Ponorogo, Madiun, Ngawi, Gorang-gareng.
Di dusun Baron itu, Adi adalah sosok tokoh yang dipanuti oleh umat setempat. Dia memperjuangkan guru agama agar ada pengasuh untuk murid-murid Hindu di sekolahan. Biasanya satu guru agama mendidik murid hindu di beberapa sekolahan. Setiap satu minggu sekali, di Sanggar Tutur tersebut juga diadakan pertemuan-pertemuan. Tapi uniknya, Adi melarang umat Hindu menggelar arisan dan dana punia. Menurutnya, arisan dan dana punia atau kegiatan yang berhubungan dengan material akan memperpecah persaudaraan. “Kalau nanti tidak punya uang trus tidak datang,” katanya. Arisan dan dana punia merupakan sebuah kapitalisme yang mesti dibuang jauh-jauh oleh Hindu yang masih kental dengan Majapahit itu.
Tri Wahyu Utami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar