Sabtu, 06 Februari 2010

Langkah Kecil Cegah Bubar

Ancaman putusnya generasi Hindu di Jawa kian terasa di dusun Mojosawit, Boyolali, Jawa Tengah. Jika tahun 1968 jumlah umat mencapai seratus KK, kini hanya tinggal hitungan jari sebelah tangan alias lima KK. Tetapi, tenang: Sanggar Dharma Santosa memberi harapan.

Banjir sungai Bengawan Solo tahun 1968 merupakan awal catatan umat Hindu di Boyolali, Jawa Tengah. Sekretariat Parisada Hindu Dharma Indonesia (PHDI) yang terletak di Solo terpaksa pindah ke Boyolali akibat terdampar banjir. Dari sanalah, Hindu di Boyolali mulai bermunculan. Cikal bakal Hindu kian terlihat jelas di enam kecamatan yaitu Sawit, Ampel, Juwangi, Banyudono, Mojosongo dan Musuk.
Ratusan bahkan ribuan umat Hindu mulai terdata di kantor PHDI pertama di Boyolali itu. Termasuk umat di Dusun Mojosawit. Di sana tercatat ada seratus KK umat Hindu yang dipelopori oleh figur yang akrab dipanggil Eyang Haryo Martaya. Beliaulah seorang tokoh yang membina umat Hindu di Mojosawit sekaligus penyokong dana untuk semua kegiatan keagamaan di dusunnya.
Selama kepemimpinan Eyang Haryo, umat Hindu di Mojosawit sangat tekun beribadah. Segala kegiatan keagamaan berjalan dengan lancar. Bertahun-tahun lamanya, tokoh satu ini menjadi panutan semua umat di dusun tersebut. Namun, setelah Eyang meninggal dunia pada tahun 1977, umat Hindu di Mojosawit mulai surut. Mereka telah ‘kecanduan’ alias tergantung pada sosok pemimpin Eyang Haryo. Sejak saat itu tak ada lagi motivator, donatur, pembinaan, upacara keagamaan, dan kegiatan agama lainnya. Umat tidak memiliki semangat lagi di bidang spiritual. Sampai tahun 2006 lalu, jumlah umat Hindu di Mojosawit hanya tersisa sepuluh KK. Kebanyakan dari umat memilih keyakinan lain yang lebih ‘menjanjikan’ dalam hal kepemimpinan.
Begitulah sejarah berlalu seperti kilatan lampu blitz: menyentak sekaligus menyilaukan. Membongkar seluruh struktur bangunan kepribadiaan seseorang, lalu membangunnya kembali—dengan perhitungan.
Kini, sang cucu Eyang Haryo Martaya, Sutopo mencoba mengumpulkan puing-puing kenangan itu dengan ingatnnya yang terbatas. Ia mendirikan sebuah sanggar yang diberi nama Sanggar Dharma Santosa untuk menampung, menghidupkan semangat keguyuban dan solidaritas keberagamaan.
***
Mojosawit, 7 Juni 2009. Jarum jam baru saja bergerak dari angka delapan pagi. Pintu gerbang rumah mendiang Eyang Haryo Martaya sudah dipenuhi among tamu yakni beberapa orang penyambut tamu. “Monggo…,” sambut mereka seraya menjabat tangan para tamu undangan.
Tamu-tamu itupun mengulurkan tangan dan menjabat tangan among tamu dengan erat. “Injih matur suwun,” sahut tamu-tamu itu sambil tersenyum ramah. Pagi itu memang tak seperti biasanya, sebab Sanggar Dharma Santosa yang berada di pekarangan rumah Eyang sedang merayakan hari ulang tahunnya yang keempat. Dalam Hindu disebut upacara piodalan tepatnya jatuh pada purnamaning kaping dua belas.
Dalam waktu sekejap, halaman rumah mendiang Eyang Haryo Martaya sekaligus depan sanggar telah dipadati umat Hindu dari beberapa daerah seperti Solo, Klaten dan Yogjakarta. Sanggar berukuran 10 x 12 meter jelas saja tak mampu menampung muatan umat yang terus berdatangan. Sehingga mereka harus duduk di halaman rumah Eyang beralaskan tikar dan beratapkan tenda.
Di dalam sanggar, banten telah tertata rapi di depan patung lingga yoni berukuran besar. Tak lama kemudian, Romo Puja Bratajati mengalunkan genta dan melantunkan mantra-mantra suci. Saat itulah, umat Hindu di dalam maupun di luar sanggar dengan khusuk mengiringi Romo muput upacara dengan menyanyikan kidung suci.
Di depan kanan kiri sanggar nampak dua buah penjor yang menjulang tinggi. Banten di dalam sanggar pun terlihat menarik dengan hiasan berbagai bentuk jaritan janur kuning. Selesai muput, Romo memimpin persembahyangan dan diamini dengan tirta serta bija. Untuk lebih menguatkan sradha umat, acara juga diselipkan dharma wacana yang dibawakan oleh tokoh Hindu dari Yogjakarta.
Pukul dua belas tepat upacara usai. Umat tidak langsung berpulang ke rumah masing-masing. Mereka masih asyik berbincang-bincang dengan umat yang berasal dari daerah lain. Mereka terlihat rukun saling silaturahmi sekedar menanyakan kabar.
Di ruang tamu Eyang Haryo Martaya nampak seorang lelaki berbusana adat Jawa lengkap dengan ikat kelapa yang dibentuk seperti blangkon sedang duduk santai. Dialah Sutopo, cucu Eyang Haryo Martaya. Bapak berputra satu inilah yang berkewajiban merawat dan memelihara Sanggar seperti amanat Eyang.
***
Ketika ditemui, ia tersenyum ramah. Perbincangan dimulai. Awalnya memang ada rasa grogi melihat kewibawaan Sutopo. Bisa ditebak, bahwa ia merupakan tokoh yang tak gentar menghadapi rintangan yang terus melanda umat Hindu di Mojosawit. Sejenak kemudian, perbincangan mulai mencair. Pertama-tama ia menjelaskan makna piodalan di Sanggar depan rumah Eyangnya disertai sejarah pendiriannya.
“Tidak hanya manusia yang mengharapkan kebahagiaan saat ulang tahun, begitu pula Sanggar ini,” ujarnya lirih. Bila pesta ulang tahun seseorang dimeriahkan dengan sajian pernak-pernik hiasan rumah dan makanan, piodalan kali ini juga menampilkan beberapa sajian banten yang dipersembahkan kepada Tuhan.
Bebantenan yang dipersembahkan pada piodalan itu memang terlihat semarak, namun Topo tak mampu menyembunyikan kekecewaannya. “Piodalan kali ini tidak semeriah tahun-tahun yang lalu,” ungkapnya sedih.
Mata Topo menerawang ke langit-langit rumah, seolah-olah membayangan keguyuban umat Hindu di era sang kakek masih sugeng. Namun, ’time waits for nobody’, demikian lengkingan falsetto dari penyanyi Freddie Mercury. Pememimpin karismatik itupun meninggal. Lalu hadir ‘agama’ baru — yang amit-amit jabang bayi — didukung negara, yaitu kapitalisme. Bukan hanya itu, perkawinan negara dan kapitalisme ditunggagi oleh agama-agama resmi guna menyampaikan gerakan penyebaran agama. Ya..iyalah ya jelas ’kalah’. Kondisi umat Hindu di Mojosawit pun secara perlahan tapi pasti terus menyusut.
Sampai akhirnya, sang cucu Eyang Haryo Martaya, Sutopo terkena kilatan lampu blitz itu tadi.
Melihat kondisi yang semakin memprihatinkan, Sutopo mencari sebuah alternatif. Ia senantiasa berupaya melestarikan Hindu di Mojosawit dengan membangun sebuah tempat ibadah bernama Sanggar Dharma Santosa di depan rumah Eyang pada purnamaning kaping dua belas tahun 2006. Nama Sanggar itu dirujuk dari kata dharma yang berarti kebenaran dan santosa adalah nama Eyang sewaktu kecil. Baginya, meski tinggal sepuluh KK, tak ada kata terlambat jika ingin bertahan. Itu saja sudah bagus. Syukur-syukur bila berkembang.
Hamparan tanah yang sekarang dibangun Sanggar tersebut merupakan warisan dari Eyang. Dahulu tanah itu sudah dilirik warga lain, bahkan akan dibeli seharga seratus juta, tapi pihak keluarga Topo tidak melepaskannya sebab tanah itu adalah warisan eyang yang mesti dirawat dan dijaga.
Sebelum pembangunan Sanggar, Topo berembug dengan keluarga besar. Syukurlah semua menyetujuinya. Peletakan batu pertama dilakukan oleh Pandita Joyokusumo. “Kami membangun sanggar ini untuk mengungkapkan rasa syukur dan terima kasih kami terhadap eyang,” ungkap pria berkumis lebat ini.
Meskipun umat Hindu di Mojosawit kian menyurut hingga lima KK pada tahun 2009, namun Sanggar tersebut masih tetap dikunjungi umat. Biasanya, mereka bersembahyang pada malam Selasa Kliwon yang diyakini sebagai hari suci para petani sekaligus bertepatan dengan hari meninggalnya Eyang. “Umat non Hindu juga sering datang ke Sanggar untuk memohon petunjuk,” serunya berbesar hati.
Mungkinkah generasi Hindu Mojosawit terputus? ’Hindu militan’, begitu sebutan Topo untuk umat Hindu di Mojosawit yang tinggal lima KK itu. Mereka tahan banting meski sering diiming-imingi materi apapun dan oleh siapapun yang berniat mengusik keyakinan mereka. Topo percaya, walaupun dengan dan tanpa eyang, mereka tetap teguh pada agama Hindu.
Memang, sosok kepemimpinan Eyang berpengaruh besar terhadap keberadaan Hindu di Mojosawit. Dulu, sebelum dibangun sanggar umat Hindu yang terus menyusut itu hanya bisa berkumpul di rumah salah satu Pinandita. Lama-kelamaan, mereka merasa takut kalau-kalau ada prasangka buruk dari kerabat maupun tetangga dengan menggelar persembahyangan di sebuah kompleks perumahan. “Kami tetap setia melaksanakan persembahyangan purnama-tilem di rumah Pinandita Sasih,” kenang mantan aktivis Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) bidang penanganan kemiskinan ini.
Menjadi seorang pemimpin memang tidaklah mudah. Vibrasinya sangat terasa bahkan saat sang pemimpin itu sudah sedo (meninggal). Pemimpin adalah panutan, ia berhak mengadakan dan memberhentikan. Jika Hindu di Mojosawit kini tersisa lima KK, itupun karena pemimpinnya bernama Eyang Haryo Martaya. Dan, sembilan puluh lima KK lainnya tentu saja juga pernah mengenyam kepemimpinan Eyang. Sayangnya, habis manis sepah dibuang. Kurang lebih begitu hitung-hitungannya. Bisa benar dan juga bisa…..?
Tri Wahyu Utami

1 komentar: