Senin, 19 April 2010

Gunung Merapi; Ketika Mbah Buyut Nyambut Gae

Di kalangan para pendaki gunung, nama gunung Merapi dikenal selain sebagai wilayah untuk menguji kekuatan fisik juga menakar tingkat kadar kualitas spiritualitas. Maka, selain dilarang sombong para pendaki dituntut kebersihan jiwa raga. Kalau tidak, maka...?

Gunung Merapi merupakan gunung berapi yang paling aktif di pulau Jawa. Lokasinya berada di perbatasan antara propinsi Jawa Tengah dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Di lereng sebelah selatan berbatasan langsung dengan Kabupaten Sleman. Di lerang itulah tepatnya di dusun Kinah Rejo letak rumah Mbah Marijan sang juru kunci Merapi yang lebih dikenal dengan roso-roso.
Namun, perjalanan saya kali ini bukanlah ke lereng tempat Mbah Marijan tinggal. Justru tujuannya adalah lereng sebelah timur Gunung Merapi tepatnya di dusun Rogo Belah, Desa Suroteleng, Kecamatan Selo, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah. Tidak hanya di sebelah Selatan saja terdapat juru kunci, tapi di lereng Timur pun terdapat sang juru kunci. Dialah Slamet Citro yang lebih akrab dipanggil Mbah Slamet. Beliaulah yang mengajukan permohonan atau ‘proposal’ kehadapan sang penunggu Gunung Merapi, Mbah Buyut.

Perjalanan dimulai saat hari telah menjemput malam. Matahari mulai bersembunyi di ufuk Barat seraya melambaikan tangan dan menyilahkan rembulan menghuni bumi pertiwi. Pedesaan hingga hutan rimba menghiasi kisah perjalanan menuju lereng Gunung Merapi. Semakin meninggi, jalan semakin kecil bahkan aspal sudah mulai memuntahkan kerikilnya. Liku-likunya menakjubkan, tambah seram lantara di kanan kiri jalan adalah jurang. Nampak begitu jelas, lereng-lereng gunung yang diterasering rapi. Tanamannya pun beragam, mulai dari sayuran, palawija sampai tembakau. Tanahnya begitu gembur sehingga semua tanaman hijau dan subur. Semakin ke atas, terlihat rumah-rumah penduduk Merapi yang sangat sederhana.
Perjalanan terus berlanjut. Gelap pun mulai menggelanyut. Tepat pukul tujuh malam, pada akhir Juni 2009 lalu, saya bermalam di kediaman Mbah Slamet. Sambutan hangat kakek empat putra ini seolah menghilangkan rasa dingin yang sedari tadi menusuk sampai ke tulang-tulang. Bagaimana tidak, teh panas yang dituangkan dari termos pun tak terasa hangat saking dinginnya malam di lereng Merapi.
Bibir terasa kelu, kaki, tangan bahkan seluruh tubuh menjadi beku. Namun, semua itu berlalu ketika obrolan dimulai. Perbincangan seru dengan sang juru kunci pun menghiasi rumah yang sering dipergunakan untuk ritual Mbah Buyut. Perbincangan dimulai dengan tema sering mbledos (meletus) Gunung Merapi.
“Ojo ngomong nek mbledos, ora etuk, neng Mbah Buyut nyambut gae (Jangan bilang kalau meletus, tidak boleh, tapi Mbah Buyut sedang bekerja),” kata Mbah Slamet tegas. Mimik serius Mbah Slamet sungguh menyentak sehingga percakapan menjadi tegang.
Kisah meletusnya Gunung Merapi tak hanya cukup dikategorikan atau dibaca sebagai peristiwa alam biasa oleh kebanyakan orang. Peristiwa-peristiwa alamiah bagi kalangan rasional diterima sebagai hal wajar dan biasa, namun bagi masyarakat agraris kental, seperti di lereng Gunung Merapi justru acap kali dibaca sebagai isyarat lain. Ada pertimbangan-pertimbangan mistis, gaib di balik peristiwa alam itu. Ia membawa pertanda, entah baik atau buruk.
Bahkan seperti penuturan Mbah Slamet, ketika Gunung Merapi itu mengeluarkan panas dan semburan lahar, jangan sekali-kali berucap “Gunung Merapi meletus”. Karena, Mbah Buyut lebih menyukai sebutan nyambut gae. Norma-norma semacam ini perlu diperhatikan, dengan harapan tidak akan terjadi sesuatu hal yang tidak diinginkan – kwalat. Jangankan warga setempat yang telah mempercayai kegaiban Gunung Merapi, siapapun yang datang ke lereng gunung Merapi mesti berhati-hati dengan tutur kata dan tingkah laku. Para pendaki gunung, misalnya, paham tentang larangan untuk tidak menjadi sombong dengan mengatakan akan mencapai puncak pada hari ini dan jam sekian. Bisa jadi kesombongan macam itu justru akan membuat para pendaki tersesat.
Di lereng yang begitu terjal dan sulit dibayangkan keamanannya itu ternyata terdapat sekelompok masyarakat yang masih begitu kuat dengan keyakinannya bahwa Gunung Merapi membawa berkah. Makanya, lebih dari 200 penduduk sekitar yang tinggal di satu dusun itu tak henti-hentinya mengucap syukur kepada Mbah Buyut dengan menghaturkan sesaji setiap hari-hari tertentu.

Mereka percaya, segala ketentraman dan kemakmuran di dusun itu tak lepas dari anugrah yang diberikan oleh Mbah Buyut. Masyarakat di dusun Rogo Belah masih kental dengan adat budaya dan ritual yang turun temurun sejak ratusan tahun yang lalu. Bahkan, saat Mbah Buyut nyambut gae, masyarakat yang tepat di lereng gunung dekat hutan larangan itu tak cepat-cepat pergi dan mengungsi. Dengan pikiran positif dan kepasrahan mereka tenang-tenang saja dan tetap melakukan aktifitas sehari-hari meski gunung terus memuntahkan lahar yang sangat panas.
“Neng kene ora pernah keno nek Mbah Buyut lagi nyambut gae, malah lewat thok (Di sini tidak pernah terkena lahar saat Mbah Buyut sedang bekerja, malahan cuma lewat saja),” ujar Mbah Slamet dengan santai.
Mbah Slamet yang telah menjadi sesepuh atau juru kunci Gunung Merapi lereng Timur atau di pinggir hutan larangan atau Gunung Bibi sejak perjaka itu melanjutkan cerita tentang kisah-kisah jaman dahulu yang berkaitan dengan Mbah Buyut. Konon hutan larangan atau Gunung Bibi merupakan ibu dari Gunung Merapi yang dinyatakan sebagai hutan larangan. Mbah Slamet juga tidak tahu persis mengapa dijadikan hutan larangan, mungkin karena terlalu banyak hewan buas dan menurut cerita yang beredar, hutan itu dipercaya masih menyimpan misteri yang amat gaib. Berita angin dari para pendaki menyebutkan bahwa daerah itu merupakan pedesaan wong samar. Artinya, jika melewati wilayah itu harus sikap rendah hati dan bilang permisi. Bahkan, tidak sedikit pendaki Gunung Merapi yang melintas di hutan tersebut hilang dan tidak dapat ditemukan. Apalagi jika tidak menggelar ritual sebelumnya.
Saking mistik dan gaib hutan larangan itu, maka masyarakat di dusun tersebut hingga kini tetap menggelar ritual rutin setiap hari pasaran Legi malam Pahing. Ritual dengan berbagai bentuk sesaji tersebut di gelar sebagai doa bersama untuk keselamatan masyarakat setempat dan sebagai doa warga masyarakat di seluruh Nusantara. Mereka tetap menyajikan berbagai macam sesaji, baik saat diupacarakan bersama di hutan larangan, di rumah Mbah Slamet atau di rumah masing-masing. Mereka hanya berpegang bahwa itu adalah adat dan budaya yang mesti dilestarikan, meskipun agama yang mereka anut tak mengajarkan demikian.

Tak berbeda dengan Mbah Slamet, malahan beliau mengaku tak beragama meski di KTPnya tertera Islam. Padahal japa mantra yang digunakan saat upacara adalah Gayatri Mantra yang menjadi inti japa umat Hindu. “Sing penting terus ngabekti marang Gustyalah (Yang penting terus berbakti kepada Tuhan),” tuturnya sambil tersenyum.
Lelaki yang jarang menikmati tidur malam ini melanjutkan cerita-ceritanya. Dahulu Eyang dari Mbah Slamet adalah orang ternama di desanya. Eyang memiliki kekuatan untuk berkomunikasi dengan Mbah Buyut. Ketika Eyang meninggal, Mbah Slametlah yang mewarisi keahlian tersebut. Ketika itu umurnya baru menginjak 18 tahun dan ia pun tak merasakan perubahan apapun dalam tubuhnya. Hanya saja, saat ada upacara ritual untuk Mbah Buyut, Mbah Slamet tak sadarkan diri dan mulai berbicara perihal kejadian yang akan datang di Negara Indonesia atau di desa tesebut. Ketika sadar, ia tak ingat sedikitpun apa yang telah ia katakana, karena Mbah Slamet hanyalah sebagai perantara Mbah Buyut yang sedang ngendiko.
Lambat laun, Mbah Slamet mulai dikelilingi oleh Pandawa yakni lima warga setempat yang akan menerjemahkan pangandikan Mbah Buyut atas perantara tubuh Mbah Slamet. Pasalnya, kata-kata yang diucapkan Mbah Buyut penuh ’filsafat’, sehingga Pandawa inilah yang bertugas untuk mengartikan setiap kata yang telah terucap dari bibir Mbah Slamet dan merundingkannya hingga akhirnya mampu dijadikan pedoman bagi masyarakat – falsafah dan isyarat. Pandawa ini sudah ada sejak Eyang Mbah Slamet menjadi juru kunci Merapi. Apakah Pandawa orang terpilih? Tentu saja iya, namun bagaiman kriteriaanya, Mbah Slamet pun tak mengetahui dengan pasti. Hanya saja, Pandawa tak mampu berkomunikasi dengan Mbah Buyut, dan hanya Mbah Slametlah satu-satunya warga di lereng gunung merapi sebelah Timur itu yang mendapatkan kepercayaan.

“Mbah Buyut kapan rawuhe aku yo ora ngerti (Mbah Buyut kapan datangnya, aku juga tidak tahu),” seru Mbah Slamet. Biasanya, beberapa jam sebelum kedatangan Mbah Buyut, ia merasakan badannya panas dan sedikit kejang-kejang. Saat itulah, Pandawa mesti paham dan malam harinya harus diadakan sebuah ritual baik di rumah Mbah Slamet atau di hutan larangan tempat yang disucikan oleh penduduk setempat.
Tidak hanya orang sakit yang memohon kesembuhan, para caleg, sampai pejabat pun terus berdatangan ke tempat Mbah Slamet untuk mengajukan ‘proposal’ kepada Mbah Buyut. Suatu ketika, ritual tengah malam sedang berlangsung. Rumah Mbah Slamet sudah dipenuhi oleh bahan-bahan persembahan dan dikerumuni pengunjung dengan niatnya masing-masing. Ada pejabat tinggi sampai tingkat rendah, orang sakit, tua renta, orang ingin memiliki kekayaan dan masih banyak lagi.
Mbah Slamet mulai duduk, tubuhnya seketika tak sadar. Dan ia menggumamkan salah satu nama dari pengunjung tersebut. Anehnya, yang ditunjuk bukanlah orang yang berkeinginan lebih seperti mohon kesembuhan atau kekayaan, namun sebaliknya ia hanyalah seorang laki-laki yang sedang duduk santai di pojok belakang sambil mengamati banyaknya orang yang datang ke tempat itu. Mbah Slamet yakin, orang yang berhati bersihlah yang disapa oleh Mbah Buyut, bukan orang-orang yang berambisi dengan keindahan dan gemerlapnya duniawi.

Alhasil, sebenarnya tidak ada yang yang perlu ditakuti dari Gunung Merapi. Justru sebaliknya, gunung Merapi bisa dijadikan tempat belajar yang efektif. Belajar bersikap menghormati alam, meningkatkan kualitas spiritual. Semacam tempat mengukur diri bagi manusia seberapa ’bersih’ ia dan ini sangat berguna dalam kehidupan sosial. Kuncinya mungkin sikap andap asor, rendah hati, terbuka, mau menerima kekurangan dengan lapang dada.
Perbincangan hingga larut malam, bahkan hampir pagi. saya bahkan sempat mengikuti ritual tengah malam bersama Mbah Slamet di kediamannya. Angin begitu kencang, menambah khusuk suasana malam penuh keheningan. Saat pagi tiba, matahari tersenyum manis termaram keemasan di balik Gunung Lawu.

Tri Wahyu Utami

Tidak ada komentar:

Posting Komentar